Cerpen Agusri Junaidi
Kemana harus pulang ketika deras hujan? Jam malam berdentang di udara.
Di mana rumah, tempat berteduh? Ia sungguh rindu rumah, tempat melipat tubuh dan meluruskannya saat penat.
Semua orang menginginkan rumah. Tempat mereka bertahan dari panas hujan. Tapi ia tak tahu di mana alamat rumah? Gardu atau mushola tidak dapat ia sebut rumah. Mushola adalah rumah tuhan, sedangkan ia hanya pendosa. Apa ia layak tinggal di Rumah Tuhan?
Ia lupa seperti apa rasanya memiliki rumah yang tenang. Rumah yang melindungi dari cuaca dan amarah di jalanan. Rumahnya dimana? Bahkan Burung punya sarang. Ia manusia, rumahnya tak tersebut beralamat di mana.
Rumah yang ia inginkan itu kini bermukim dikepalanya.
Ia bawa rumah itu kemana saja.
Maka dia makin bertambah sibuk, dalam waktu-waktu tertentu ia selalu mengecat rumah di dalam kepalanya itu, warna -warni. Adakalanya nya ia warnai biru untuk melambangkan kehangatan samudera.
Di waktu lain ia beri warna kuning agar seperti padi menghampar.
Maka rumah di kepala itu selalu berganti, bagai warna partai politik. Dia mengingat ketika lebaran tiba beberapa waktu yang lalu, orang-orang berebut pulang ke rumah. Rumah di kepalanya tak menerima tamu dalam empat belas hari kemuka. Orang-orang hanya saling mengucapkan salam dengan menangkupkan dua telapak tangan ke dada dari jarak dua meter.
Pulang adalah rahasia rumah. Ketika seseorang pulang, maka rumah akan mendekapnya. Rumah akan merayu kita untuk tinggal lebih lama lagi. Seolah ketika pulang manusia menemukan lagi tempat yang hening, menyepi diri dari angkuh hati yang selalu merasa benar. Tubuh-tubuh yang lelah di medan pertempuran hidup, ingin pulang ke rumah. Lalu mereka tak sadarkan diri disalah satu kamarnya.
Dalam bayangannya, kamar itu dilengkapi ranjang besi model kuno. Kelambu putih yang membungkusnya sudah berwarna kelabu. Cuaca pada musim itu sedikit gerah, terutama rumah-rumah dengan atap pendek. Udara yang tak leluasa datang pergi, membuat suasana jadi sumpek.
Sebuah lemari dengan cermin dibalik pintunya turut kelabu. Tak terhitung banyaknya wajah berkaca di situ.
Orang-orang dengan warna lipstik yang berbeda dan busana dari aneka masa. Ada juga sebuah lemari rias yang kehilangan auranya sejak jarang digunakan. Setelah semua orang meninggalkan rumah, perlahan aura baik dirumah itu ikut pergi bersama mereka.
Ia mempertanyakan lagi semua hakikat pencarian yang membuatnya lupa pada kata pulang. Sebagai lelaki ia cocok menjadi petugas intel. Rasa ingin tahunya merangsak terang-terangan. Namun kini, suara lelaki itu kalah oleh perbincangan dalam kepalanya sendiri.
Ada kemungkinan ia telah dikuasai waham.
Percakapan itu berdentum bagai puisi, bertalu-talu, jernih dan tertib.
“Apakah kau akan pulang?”
“Pulang kemana? Rumahku tak ada lagi,”
“Kau lupa jika memiliki rumah besar di dalam kepalamu? “
“Itu bukan rumahku lagi? “
“Tak mungkin kau lupakan rumah di kepalamu sendiri, ” Tapi sungguh ia mulai rupa akan rumah didalam kepalanya. Apakah rumah itu beratap joglo, dengan gerbang berukiran Bali dengan batu andesit?
Apakah itu rumah beton atau rumah panggung, sebagaimana rumah kakeknya? Rumah itu bagaimana bentuk pondasinya? Apakah hanya gubuk sederhana di rimba raya. Ia gagal mengingat semua itu.
Sempat dalam ingatannya terlintas sebuah rumah yang menghadap tanah lapang. Di lapangan itu saat perayaan 17 Agustus, orang-orang bermain bola diatas rumput hijaunya. Dia kini dihinggapi kebingungan.
Pulang adalah isyarat yang mendalam dari sakralitas sebuah hubungan. Ketika kita pulang maka terhubung lagi dengan nama-nama tempat, yang waktunya pada masa lalu pernah kita cumbui detik demi detik.
Mereka akan mengajaknya kembali menceritakan masa kecil yang indah. Sudah mereka jelajahi sungai dengan gedebong pisang, menghilir sampai jauh. Jembatan ayun itu kini berganti jembatan beton. Di bawahnya dulu mereka bermain jeram yang makin tinggi kala deras hujan.
Pulang dan rumah selalu saling merindukan. Rumah selalu jadi tempat tujuan untuk pulang. Satu-satunya tujuan pulang adalah rumah. Tapi di dimana rumahku? Aku ingat rumah sempit yang lain di kepalaku, cangkang Kura-kura yang selalu terbawa. Apakah ini rumah? Ruangan berjeruji yang sekian lama aku anggap sebagai rumah.
Adakah pulang yang tidak hendak sampai ke rumah? Bukankah rumah adalah benteng yang melindungi diri, dari tatapan-tatapan dengki?
Dan kata-kata yang menyeringai keluar dari tempurung kepala pembenci seperti asap yang lerai oleh angin. Kemudian kata-kata seperti anak panah yang kembali menyudutkan dengan pertanyaan soal pulang.
Dia ingin pulang ke rumah yang mana?
Apakah ibu sedia menampungnya sebagai beban. Diri nya seorang anak yang sekian lama melata sendiri. Ia merasa dibumi ini, tak pernah ada seorangpun yang memilikinya.
Ibunya sudah cukup menderita dengan suaminya yang miskin. Mereka hidup dengan rasa was-was yang selalu mengganggu karena mendirikan gubuk itu, di tanah orang lain. Setidaknya bagi mereka ada tempat pulang, ke sebuah rumah, meski sementara. Sambil menunggu seseorang mengantarkan alamat yang baru.
Gubuk itu takkan cukup menerima tubuh lain, ikut berlindung di bawahnya. Ia masih membayangkan gubuk itu. Gubuk bertiang Akasia dengan atap genteng tua yang sudah berulangkali dibongkar pasang. Genteng itu tak sepenuhnya hitam tapi tak lagi layak disebut sebagaimana warna genteng. Warna genteng itu begitu tua, noda hitam sudah merusak auranya. Ia tak ingin menambah kesesakan gubuk itu. Tak ingin ia ikut pulang kesana, sebagaimana saudara-saudaranya.
Setelah ia mencoba pulang kesana-kemari, ia sempat merasa kuburan ayahnya inilah tempatnya pulang. Ternyata ia hanya menemukan kesepian yang makin mencekik. Ia merasa tak cukup baginya, bicara dengan nisan-nisan kuburan itu. Ia melupakan ini sebagai rumah untuknya pulang. Ia terus berjalan sendiri.Pasar-pasar sepi bagai kehilangan pembeli. Benak nya terus berpikir hendak segera tiba ke rumah.
Ia sungguh berniat pulang.
Kota adalah sahabatnya.
Namun kota begitu kejam, tak ingin berbagi kebahagiaan. Kota selalu membuatnya meradang, melihat barang-barang mewah. Toko serba ada menawarkan apapun, semuanya yang tak bisa ia beli.
Kota memanjakan angan ku. Khayalan ku meninggi seperti layang-layang.
Tapi aku mencari sebuah rumah.
Jika rumah adalah semua tempat dan semua kepulangan menuju ke rumah, ia mulai kehilangan rumah di dalam kepalanya.
Di ingatannya bentuk itu makin samar. Rumah desa yang ada dalam ingatannya sudah runtuh, sisa-sisa bangunan telah dilumatkan banjir. Tempat tidur ranjang besi hanyut bersama kelambu yang membungkusnya. Semua ingatan masa kecilnya, di dalam kardus ikut mengalir bersama arus. Ia kini kehilangan rumah didalam kepala.
Sejauh ia ingin mengingat, sejauh itu pula ia terlempar. Terlempar pada kenyataan yang mengingatkan dia akan arti manusia yang mendapatkan rasa hormat.
Saat ia mengingat rumah, ia membayangkan suasana sebuah tempat. Ketika ia pulang nanti akan banyak yang bertanya pengalamannya, tiga bulan menghirup udara bebas.
Ia akan pulang kerumahnya, dimana ia akan makan sesuai jadwal dan mencicipi rasa hormat.
Ia melihat rumah ketika seorang ibu muda tengah berhenti di depan gerai handphone. Rumah itu seperti melambai-lambai. Ia merampas kunci motor perempuan itu dengan ragu-ragu.
Perempuan itu berteriak marah dan mengayunkan dompet tangan kearah wajahnya. Beberapa lelaki berseragam keluar dari gerbang yang terbuka. Tangan mereka memegang pistol. Tangan-tangan itu seperti berusaha menjangkau tubuhnya.
Peluru dalam pistol itu seolah ingin meledak dalam suasana yang riuh.
Ia menyerah dengan kedua tangan terangkat. Tubuhnya didorong serata lantai, namun tak ditemukan apapun. Tidak senjata tajam bahkan tidak selembar uang. Di temukan sebuah dompet lusuh berisi alamat rumah yang sedang ia tuju. Ia akan segera pulang.
Ia adalah lelaki yang mendapat asimilasi tiga bulan lalu, telah berhasil dengan rencananya merampas sebuah sepeda motor didepan kantor polisi.
Akhirnya ia dapat pulang tanpa luka menganga yang berdarah. Ia akan segera pulang menuju rumah lamanya, rumah tahanan di pinggir kota.
(*)