Cerpen: Muhammad Alfariezie
Kuntilanak yang tertawa keras dan yang kakinya berayun-ayun dari atas pohon beringin besar pernah aku mendengar dan melihat. Gunderuwo berbulu hitam tebal yang matanya merah dan hanya diam, pernah menghalangiku untuk keluar dari dalam rumah yang lama tidak memiliki penghuni. Tuyul-tuyul dan pocong yang meneteskan liur di dalam gentong penjualan makanan pun pernak aku memandang.
Kejadian itu bermula ketika aku pulang dari rumah kakek yang malam itu, saat bulan begitu bulat dan bersinar, dia mengembuskan napasnya. Sebelum mengembuskan napasnya dan saat dia berjuang melawan maut. Sungguh, dia memegang tanganku dan memandang tepat ke arah dua hitam putih mata lelaki yang baru beranjak dewasa ini.
Waktu itu, meski keadaan sedang genting. Ibuku, tanteku, pamanku dan adik dari kakekku pun menangis. Tapi aku tidak. Aku memikirkan maksud dari pandangan dan genggangam kakek untukku.
Maksud itu kutemui ketika aku pulang untuk mengambil pakaian. Aku cucu pertamanya maka nenek ingin aku ikut memandikan kakek.
Jalan dari rumah kakek ke rumah orang tuaku tidak begitu jauh. Tapi, mesti melewati kebun-kebun pisang dan kebun-kebun tangkil berbatang besar dan rindang.
Konon, tidak ada yang berani melewati jalan itu sendirian. Tentu saja ketika malam. Karena kerap terdengar suara benda jatuh dari atas pohon. Dan ada juga yang bercerita, ada pohon pisang jelmaan pocong bermata hitam, berwajah mutung, dan berpakaian lusuh penuh tanah merah. Bahkan, pocong itu terbilang jahil. Kata masyarakat sekitar, pocong itu kerap menunjukkan wujud asli secara tiba-tiba.
Kampung kami sempat geger karena penemuan petani. Petani tersebut menemukan satu orang pengendara ojek yang asalnya bukan dari kampung sekitar kebun itu. Petani itu menemukannya tergeletak di atas rumput yang berembun. Ketika dibangunkan, ternyata dia bukan pemuda yang mabuk. Tapi, ternyata dia pingsan.
Ceritanya, tukang ojek itu mendapat order untuk mengantar seorang pegawai yang baru pulang kerja. Pegawai itu adalah tetangga kakekku.
Pada saat masih membonceng sang pegawai, meski melewati kebun-kebun pisang dan pohon-pohon tangkil serta beberapa pohon randu, tidak sekali pun ada gangguan. Tapi, kejadian yang menyeramkan baginya hadir ketika seorang diri melajukan kendaraan melawati kebun penuh misteri itu.
Pelan ia melajukan kendaraan. Saat melalui pohon randu yang menjadi tanda antara kebun dan jalan kampung, tukang ojek itu sudah mendengar ada desahan. Dia sempat menengok dan melihat ke spion. Tapi, tidak ada satu pun hal yang aneh.
Hal-hal yang aneh baru ia dapati ketika melalui jalan yang sisinya tumbuh pohon-pohon tangkil. Sekelabat bayang putih terlihat menyeberang jalan. Tapi, tidak menghalanginya.
Setelah sekelebat bayang, tukang ojek itu kembali mendapat gangguan. Gangguannya adalah suara benda yang jatuh dari pucuk pohon. Suaranya seperti bunyi durian yang jatuh dari atas batang pohon yang cukup tinggi. Sontak, tukang ojek itu langsung menancap gas kendaraannya lebih kencang. Namun, ketakutannya meningkat ketika ia keluar dari kebun tangkil. Di depan jalan masuk melewati kebun pisang, pocong berkain kavan lusuh melompat dari balik pohon pisang.
Motor tukang ojek itu secara tiba-tiba mati dan berhenti mendadak. Dia pun terjatuh. Tapi, dia hanya memandang ke arah makhluk gaib bermata hitam, berwajah legam dan bertubuh tinggi sebagaimana pohon pisang yang telah berbuah.
Pocong itu terbang dan mengarahnya. Sedangkan, si tukang ojek hanya mampu memandang. Tubuhnya kaku. Tak bisa berbuat apa pun.
Pocong itu semakin terbang mendekatinya. Tepat di depannya dan hanya berjarak 10 centi meter, pocong melebarkan tangannya. Selain itu, makhluk gaib berciri khas itu membuka mulutnya. Sontak, tukang ojek tergeletak di atas rumput yang berembun.
Tiba-tiba saja, cerita dari peristiwa itu terngiang ketika aku menyalakan mesin kendaraan. Tapi, lelaki berusia 20 tahun, saat itu. Terbiasa pulang pukul 10 hingga 12 malam melalui jalanan yang sepi dan di sisinya tumbuh pohon-pohon pisang atau nangka. Tak sekali pun pernah aku melihat kegaiban. Karena itu, aku yakin untuk tetap pulang mengambil baju ganti guna memandikan jenazah kakek.
Kupacu motor yang warnanya telah sedikit memudar. Kakek mesti segera dimandikan malam ini juga. Sudah banyak pelayat yang datang dan mendoakannya. Tak elok jika terlalu lama dibiarkan tanpa disucikan.
Sampailah diriku di gerbang kebun yang katanya mengerikan. Jujur, baru malam itu aku melalui jalan katanya mengerikan jika bulan atau bintang menjelmakan kecantikan. Memang, jika mengunjungi rumah nenek dan kakek, aku dan ibu selalu datang pada siang atau sore. Suasana pada sore tidak sama sekali menyeramkan. Cerah hijau daun-daun adalah suasana para pejalan atau pengendara. Selain itu, senyum ramah para pengebun, kadang kita jumpai. Tapi, malam ini. Sungguh, aku tak berani melihat ke spion.
Daun-daun yang diam dan pohon-pohon menjulang serta tak satu pun ada penerangan kecuali cahaya bulan adalah pemandangan yang nyata di sepanjang jalur. Kebun-kebun tepi jalan itu adalah milik warga. Selain itu, tempat nenekku tinggal memang berada di pinggiran kota sehingga belum tersentuh pembangunan yang optimal. Hanya jalan saja yang diaspal. Sedangkan untuk lampu jalan pernah ada pemasangan. Tapi, hanya sekali dan tanpa perawatan. Terbukti, hanya ada tiang-tiang yang berkarat serta lampu yang boklamnya pecah memecah. Dan itu, menambah seram suasana malam melalui jalur ini.
Secara tak terduga, aku berhenti mendadak karena melihat sekelebat bayang yang lewat. Kakiku lemas lantaran jantungku berdegub kencang. Tapi, aku tidak memiliki keberanian untuk melihat-lihat sekitar. Apalagi spion.
Aku mencoba kembali melajukan kendaraan. Namun, dari arah belakang ada yang memanggil.
“Tunggu,” suara panggilan itu terdengar serak seperti para sepuh.
Aku langsung menengok ke arahnya. Terus terang aku takut. Tapi, sungguh penasaran.
Ternyata seorang kakek berada di belakangku. Kakek itu mengenakan pakaian khas petani. Baju kaos partai yang kotor dan celana dasar yang terdapat tanah merah adalah pakaiannya. Tapi, dia tidak membawa peralatan tani seperti cangkul atau arit.
“Kau mau ke sana? Tolong antarkan aku. Lelah sekali hari ini bekerja hingga malam. Banyak hama tikus,” ujarnya yang langsung duduk di belakangku.
Dia sudah begitu dan aku tidak lagi bisa menolak. Kupasrahkan diri ini. Meski, sungguh, aku takut sekali. Tapi, terus terang dalam pikiranku tak sekali pun ada ketakutan bahwa orang yang di belakang itu adalah begal. Karena tak pernah ada kejadian kehilangan motor atau perampasan di kampung mau pun jalur tersebut.
“Berani sekali melewati jalan ini sendirian?” tanyanya.
“Hehe iya pak. Ada yang mesti kulakukan malam ini juga. Bahkan nanti aku harus kembali melalui jalan ini lagi,” jawabku.
Tak ada terdengar jawaban darinya. Sesekali aku melihat ke spion. Beruntung tidak ada penampakan apapun. Orang itu masih sama seperti yang kulihat di awal. Namun, wajahnya tak jelas karena dia hanya merunduk dan ketutupan pundakku.
Kejadian yang amat membuat jantungku berdebar dan mulai berpikiran tentang peristiwa tukang ojek yang pingsan adalah ketika kami nyaris memasuki kebun-kebun pisang. Secara tak terduga, kakek itu memegang pundakku. Dingin jemarinya menembus kain kemejaku.
Seerr. Bulu kudugku terangkat.
Dia pun menepuk-nepuk pundakku. Mungkin, ingin aku menghentikan kendaraan. Tapi, sungguh aku tidak peduli dan sekata pun tak keluar dari mulut ini.
Aku langsung menambah laju kendaraan. Tapi, saat masuk kebun pisang, kendaraanku terasa lebih enteng. Seperti tidak sedang membonceng apa pun. Namun, saat kira-kira baru sepuluh meter melalui kebun pisang. Betapa aku terkejut, di sisi kananku ada pocong yang tegak berdiri.
Tinggi pocong itu sungguh lebih dari pohon pisang. Sekejap pandang. Pocong yang kepalanya terikat itu memandangku.
Aku tak tahu dia terbang atau melompat. Setelah melihatnya berdiri di sisi pohon pisang, aku semakin menambah kecepatan motor. Tapi, secara tak terduga, di sisi kiriku terbang kuntilanak bergaun putih lusuh.
Rambut kuntilanak itu lebih panjang dari pada tubuhnya atau tinggi pohon kelapa. Dia tertawa keras sekali. Sedangkan aku, tak berani melihat ke arah kanan dan kiri atau spion. Fokus kupandang jalan yang gelap.
Beruntung jalan itu tidak berpolisi tidur sehingga walau kendaraanku melaju kencang tapi tidak ada gangguan. Aku pun sampai pada jalan perumahan.
Kampung kakek memang tidak jauh dari perumahan. Dan rumah orang tuaku berada di perumahan. Sekat antara perumahan dan perkampungannya adalah kebun pisang dan tangkil itu.
Setelah sampai di tempat yang terang karena lampu-lampu dan cat-cat rumah warga yang terang, barulah aku memberanikan diri melihat ke spion. Bahkan menengok ke arah belakang. Betapa jantungku berdebar sehingga kakiku lemas. Ternyata, kakek tadi sudah tidak ada. Dan aku meyakini. Dia tidak mungkin terjatuh atau melompat. Aku meyakini, dialah makhluk gaib yang pertama menggangguku.
Sungguh, ini adalah pengalaman pertamaku. Tapi, aku merasa bersyukur karena tidak bernasib seperti tukang ojeng yang tergeletak pingsan. Namun, bagaimana mungkin aku bisa melihat makhluk gaib? Sedangkan sejak kecil, aku tidak pernah menyaksikan kegaiban kecuali dalam film. Namun, belum sempat pertanyaan itu mendapat jawab, aku tersadar kalau mesti segera sampai rumah untuk mengambil baju salin.
Setelah di rumah dan memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas, aku langsung menelpon ibu. Aku ingin dijemput karena tak mungkin kembali sendirian melalui jalur itu.
“Kan, paman sudah memperingati supaya diantar saja. Tapi kamu ngeyel mau pulang sendirian. Jadinya ngerjain orang kan,” ujar ibuku dari ponsel pintar.
Beberapa menit kemudian, mobil paman menjemputku. Ternyata, di dalam mobil ada paman dan ibu. Aku memahami, paman pun tidak berani melalui jalur tersebut sendirian.
Sepanjang perjalanan aku masih memikirkan bagaimana mungkin mampu melihat itu semua. Apakah karena kekuatan gaib makhluk-makhluk di kebun itu begitu tinggi hingga mampu mengganggu semua orang tanpa terkecuali? Entahlah, ada yang mesti segera kulaksanakan. Yaitu, memandikan jasad kakek. Tapi, kejadian yang cukup mengerikan pun menghantuiku ketika sedang memandikan jenazah kakek.
Saat aku memegang tubuh kakek, betapa aku terkejut ketika melihat sosok putih terbang dari pohon cengkeh ke pohon kapuk. Tapi, tak jelas karena jaraknya cukup jauh.
Area belakang rumah kakek adalah kebun berbagai jenis tanaman dan ada puluhan ayam kampung peliharaannya. Rumah kakek dan kebun hanya dibatasi dinding dan pintu yang terbuat dari seng. Kebetulan, jenazah kakek dimandikan di tempat mencuci. Tempatnya terletak persis di balik dinding yang menyekat kebun dan rumah. Nampak jelas pucuk-pucuk pohon dari dinding pembatas yang tidak begitu tinggi. Tapi, alhamdulilah. Aku masih mampu mengontrol diri. Dan tak mau melihat ke arah bayang itu hingga. Sehingga jenazah kakek masih kugenggam erat dan sesekali aku membasuh tubuh dan menyabuninya.
Malam itu, benar-benar malam ujian bagiku. Aku berpikir dan berpikir tentang bagaimana melihat hal-hal gaib. Tapi, ujian itu tidak berlangsung lama. Paman dan ibu berbicara di dalam kamar yang kebetulan sejak memandikan jenazah kakek, aku berada di dalam ruang itu.
“Bapak itu punya pegangan, kak. Alhamduliah dia meninggal tidak begitu sulit. Apa mungkin pegangannya hilang begitu saja tanpa bantuan orang pintar?” ujar pamanku yang memang dia adalah adik dari ibuku.
“Seminggu yang lalu, ustaz sudah kemari. Saat bapak mengerang kesakitan dan ketakutan, dia membacakan beberapa ayat qur’an untuk mengeluarkan beberapa pegangan bapak. Katanya, memang masih ada yang belum keluar semua. Dan pegangan yang itu akan keluar dengan sendirinya setelah menemukan tubuh yang cocok. Bisa jadi akan pindah untuk keturunannya. Tapi, ustaz itu tidak tahu siapa keturunan yang dipilih,” jawab ibuku.
Sontak aku berhenti memainkan ponsel pintar. Aku teringat bagaimana pandangan mata kakek ke arahku saat sebelum mengembuskan napas terakhir. Aku juga teringat bagaimana eratnya menggenggam tanganku.
“Apakah itu tanda kalau kakek mewarisi pegangannya untukku?” batinku
Tak lagi banyak pertanyaan yang membebani pikiran dan perasaan ini setelah mendengar percakapan paman dan ibu. Aku mulai yakin, kakek memang mewarisi pegangan itu kepada cucunya ini. Karena, sejak kejadian malam itu, hari-hari yang kulalui lebih akrab dengan dunia gaib. Jika ada kesempatan, aku akan menceritakan kisah-kisah penglihatanku. Mungkin, bisa dijadikan pelajaran atau pengalaman.
2021
Catatan Redaksi :
Redaksi menerima kiriman berupa cerpen, puisi, dan esai.
Kirim karya Anda ke email Pantausastra@gmail.com. Karya yang dimuat, mohon maaf belum ada honor.
Terima kasih