Oleh Yo Sugiarto
(Bagian Pertama)
Oleh Yo Sugianto
Membaca 100 puisi lebih dalam buku ini
seperti menemukan oase bagi perkembangan
puisi yang tak surut di tengah
pengaruh kesenian modern yang luas, seperti musik dan yang lain.
Memang apa yang tersaji di sini bukan
ukuran untuk mengamini hal itu. Seperti juga tak semua penulis yang mengirimkan
karyanya ke Gaksa (Gabungan Komunitas Sastra
ASEAN) bisa disebut mewakili wajah penyair di
masing-masing negara.
Bukan soal terkenal atau tidaknya nama para
penyair di buku ini. Bukan juga tentang bagus
atau tidaknya karya yang disajikan, dengan
masing-masing penyair menampilkan 10
Puisinya.
Tentu, mereka mengirimkan karya
terbaiknya untuk menyapa pembaca. Karya yang
berawal dari pengalaman, pengamatan dan
pergulatan bathin. Entah itu tentang kehidupan
pribadi, percintaan, sosial, politik atau
ketimpangan ekonomi di lingkungannya.
Bukankah memang demikian tugas penyair untuk mengabarkan kejadian yang dilihat dan
Dirasakannya.
Perkara puisi itu mendapat tempat di hati
pembaca, itu persoalan seleksi alam. Soal
bagaimana kata-kata yang ditampilkan dengan
berbagai gaya bahasa mampu menyentuh relung
hati pembaca. Seperti diibaratkan “Penyair
melahirkan bayi bernama puisi, yang akan
diserahkan pada pembaca untuk dinilai seperti
apa dan menjadi apa itu nantinya.”
Satu hal yang bisa menjadi catatan bagi kita
dengan tumpukan puisi yang ada, bahwa berpuisi
memang mudah tapi ada hal-hal yang tak boleh
luput bagi penulisnya. Persoalan itu tentu tak dijumpai pada beberapa penulis yang memang sudah menjadi, yang menjadikan puisi bagian tak terpisahkan dari dirinya. Tak sekedar menulis untuk dipajang di buku atau media. Tak sekedar meluapkan
perasaan dengan kata-kata indah, tapi terasa
kosong di dalamnya.
Berikut ialah ulasan terhadap puisi setiap
penyair, seorang demi seorang, yang dihidangkan
dalam buku ini.
Ulasan Puisi Anie Din
Sederhana Pun Membuat Puisi
Enak Dinikmati
Membiarkan diri membaca puisi-puisi Anie
Din dengan tenang. Di saat senggang, di teras
dengan kopi dan rokok, tulisan perempuan yang
terlihat aktif mengikuti berbagai acara sastra itu
makin membuktikan bahwa diksi sederhana
mampu memberikan pikat tersendiri.
Dari 10 puisinya terlihat persoalan sehari-
hari, yang sederhana, mampu diolahnya dengan
baik. Pemilihan kata-katanya tak berlebihan,
enak dibaca dan diserap.
“Bahagia” misalnya, berkisah tentang banyak
hal yang harus dikerjakan dan dihadapi. Dari
kesibukan di bandar udara (airport), anak-anak
dhuafa hingga fotografer. Keriuhan dan
keragaman peristiwa itu dirangkupnya dalam
Puisinya.
Diakhirnya “Bahagia” itu dengan sederhana,
tapi cantik: Aku bahagia sibuk begini.
Mungkin kebahagiaan serupa yang Bunda
Anie Din, panggilan akrabnya, rasakan ketika ia
baru menggeluti puisi saat dipanggil nenek. Usia,
kata beberapa penyair memang sekedar angka.
Namun seorang (calon) penyair memberi makna
pada usianya dengan jatuh cinta dengan kata-
Kata.
Penyair ternama Indonesia, Joko Pinurbo
mulai berpuisi saat usianya sudah menginjak kepala empat. Saya juga mulai mengakrabi puisi
di usia lebih dari empat puluh tahun. Rasanya tak
ada batas dalam puisi untuk usia, status atau
Jabatan. Namun usia, dengan perjalanan hidup yang
beragam warna, tak bisa dipungkiri
mempengaruhi isi sebuah puisi. Tentunya bekal
itu saja tak cukup, dibutuhkan ketekunan dan tak
lelah (serta tak puas) untuk menulis, dan terus
Menulis.
“Pagi Bermega” misalnya, menunjukkan
kematangan seorang Anie Din. Puisi yang seperti
percakapan ringan di pagi hari. Kesadaran diri
seorang wanita yang tak lagi muda, yang tak
perlu banyak riasan atau asesoris untuk
menutupi garis usianya. Ia hanya berkata: “Saya
tak perlu apa-apa, hanya sedikit palitan lipstik
sahaja, sudah cukup wajah ceria.”
(Bersambung)
Catatan Redaksi :
1. Naskah puisi, cerpen dan esai dikirim ke surel pantausastra@gmail.com
2. Mohon maaf, untuk sementara redaksi Pantau Lampung belum bisa memberi honor kepada penulis yang karya sastranya terpublikasi.