Oleh Muhammad Alfariezie
* Anjani korban Photograper Porno
* Alfonso menarik tangan Anjai dan melemparnya hingga jauh dari pintu hotel
*Hidup Anjani sarang laba-laba tanpa penghuni
Hari-hari berlalu riang. Sinar matahari pagi, siang dan senja bersahabat dengan hewan, tanaman juga orang-orang. Hujan pun, katak mengiung dan bunga padi menghiasi sawah-sawah petani. Tapi, Anjani seperti sawang di dalam kamar remang. Satu bulan sudah dia hanya berdiam di dalam apartemen.
Rutinitasnya sekadar makan, minum dan tidur. Dia malas mandi dan hanya sesekali gosok gigi. Rambutnya yang lecek dan wajahnya yang terlihat lengket memburamkan cantik bangir hidung mancung dan kulit langsat cinanya.
“Entahlah. Sejak diajak photographer dari singaparah, dia tak pernah keluar dari kamar kecuali untuk mengambil pesanan makanan,” kata Sutikno, orang yang kamar apartemennya terletak persis di depan kamar Anjani.
Anjani adalah salah satu korban industri video porno yang penayangannya di wilayah eropa. Dia tertipu. Sebelum virginnya terampas, dia menerima telpon, email dan pesan whatss app.
“Saya Alfonso. Photograper majalah dewasa. Kecantikan dan kemolekan tubuhmu sangat saya butuhkan sebagai cover dan iklan bikini terbaru rancangan desainer terbaik Jerman. Apa Anda berkenan menandatangani kontrak kerja selama satu minggu?”
Perempuan yang merantau ke kota untuk menafkahi keluarga di kampung itu tak pikir-pikir. Ia sudah menjajal lebih dari 50 pemotretan di dalam negeri. Honornya jauh lebih rendah dari tawaran barunya itu.
Berkemaslah dia malam itu. Merapihkan baju dan segala keperluan. Pukul 08.00, pesawat menunggunya terbang ke negeri orang demi uang untuk mama papa di kampung halaman.
“Saya sungguh tidak menyangka. Pria tampan yang tinggi besar dan sopan pada awal bertemu justru menikam nurani ini,” katanya terisak seraya menggeramat rambut lusuhnya.
Menurutnya, setelah masuk kamar hotel berbintang paling tinggi, dia langsung dibayar 200 juta. Itu sebagai pembayaran kontrak.
“Di dalam kamar sudah lengkap semua peralatan. Tapi, tidak seperti pemotretan. Di sana ada 7 crew. Seperti ingin memproduksi film. Sedangkan pengalaman saya sebagai model, dalam tiap sesi, paling-paling hanya 1-2 kamera. Tanpa peralatan sound. Tapi, siang itu, aku merasa janggal sekali,”
Anjani menjelaskan, dia sempat mengembalikan uang kontrak dan izin untuk kembali pulang ke negerinya. Dia beralasan ada keluarga yang sakit. Tapi, Alfonso menarik tangannya dan melemparnya hingga jauh dari pintu hotel.
“Alfonso mengunci pintu. Aku hanya bisa menangis dan sesekali menjerit meminta pertolongan. Tapi, hotel itu penuh peredam,”
Uang 200 juta di lempar ke wajah Anjani. Semua Crew tertawa dan bersiap merekam semua peristiwa dalam kamar itu.
“Saya di lempar ke kasur. Karter yang tajam menyobek baju saya. Saya menendang-nendang. Saya ditampar. Saya dicekoki minuman beralkohol. Saya tak sadar,” ungkapnya seraya mengambil sebotol minuman di lemari gantung.
Entah pagi, atau sore, Anjani terbangun. Kemaluannya terasa perih dan anusnya lebih lagi.
“Saya menangis dan kehilangan akal. Saya ingin menyayat nadi. Tapi, tak ada beling, karter apalagi pisau. Sementara, di atas kasur dan di atas tubuh saya tercecer uang yang cukup untuk membeli rumah dan mobil,” katanya seraya berdiri dan menggebrak meja.
Dia marah. Dia melemparkan vas bunga ke dinding.
“Saya menyesal karena hari itu tidak mengajak teman sebagai pendamping. Pada pemotretan yang sebelum menyelekitkan perasaan itu, saya selalu ditemani seorang kawan. Tapi, karena saya terlalu bersemangat dan mengingat kalau tidak pernah terjadi hal-hal mengerikan selama pemotretan maka saya berpikir untuk pergi sendiri,” katanya seraya melerai rambut dan menuangkan vodka ke seloki.
Anjani melangkah ke tepi jendela apartemen. Tinggi jendela itu 25 lantai. Dia tidak ingin bunuh diri. Tapi, melemparkan botol vodka.
Tak terdengar ada suara pecahan. Selama 30 menit, tak pula satpam menghampiri kamar ini.
“Hidupku sarang laba-laba tanpa penguni. Takkan pernah aku kembali pulang. Begini lebih baik dari pada hidup tapi ada sesuatu dalam tubuh ini yang telah direnggut. Keluargaku, mereka semua manusia. Mampu hidup meski kelahiranku tidak pernah ada,” katanya lalu melangkah ke kamar mandi.
Suara muntahannya terdengar cukup kuat. Luka lambung Anjani sudah begitu parah.
“Pergilah. Aku tak perlu dokter. Yang kuperlu hanyalah malaikat pencabut nyawa,” tutupnya lalu merebahkan tubuh di sofa. Mengangalah kemaluannya