oleh

Kontroversi Liputan Program BMW Bupati Tulang Bawang Hj. Winarti

Reportase Muhammad Alfariezie

Hasil rapat perencanaan proyek memutuskan aku berangkat ke Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung untuk meliput program Bergerak Melayani Warga (BMW) gagasan Bupati Winarti.

Sungguh senang bisa kembali meliput di luar kota Bandar Lampung. Aku bisa menyaksikan dan mengobrol langsung dengan OPD dan masyarakat Kabupaten Tulang Bawang. Apalagi, beberapa surat kabar dan media online menggembar-gembor kesuksesan dan kegemilangan program Bupati Tulang Bawang periode 2017-2022.

Sepanjang perjalanan sejak awal keberangkatan, aku dan 3 orang tim produksi serta satu Pemimpin Redaksi (Pemred) diselimuti kegembiraan karena mendapat jatah projek bernilai ratusan juta, atau mungkin milyaran.

Sampai tiba di depan kompleks Pemda lama Kabupaten Tulang Bawang pun kami masih bahagia.

Pesanlah kami satu-satunya menu di sana; ikan nila bakar plus sambal terasi, lalapan dan kuah pindang. Sendawalah kami selesai makan dan menikmati segelas es teh manis.

Dikawal Kepala Biro Tulang Bawang, kami jemput bola ke Dinas Kesehatan Tulang Bawang.

Bah, kami hanya disambut Sekretaris Dinasnya dan rasanya tak perlu kusebut siapa dia. Karena, yang penting Kadis berhalangan menyambut kami lantaran sedang Dinas Luar (DL), yakni mendampingi Bupati Winarti meresmikan atau mengunjungi suatu kegiatan.

Kecewa, ini proyek yang menggunakan APBD. Jelas, uang rakyat ada di sana. Tapi Dinas Kesehatan, menurutku tidak siap untuk menjalankan proyek ini, lantas bagaimana dengan 25 program Bergerak Melayani Warga (BMW) yang mereka juga bertanggung jawab di dalamnya?

Aku berjumpa dengan sekretaris Dinkes Tuba saat kami masuk ruang Dinas. Dia mengenakan kaos senam warna merah. Bukan hal yang mesti dijengkelkan, dibahas atau pun dipermasalahkan, karena barangkali dia usai senam bersama dalam apel.

Akan tetapi saat itu kami ingin melakukan pemaparan terkait program Bergerak Melayani Masyarakat bidang kesehatan. Aku sudah meminta sekretaris berganti baju, tapi dia beralasan pakaiannya ada di pemda baru yang waktu tempuhnya dari pemda lama sekitar 30 menit.

“Ah payah, mereka ini enggak siap sama sekali untuk memberi yang terbaik untuk publik,” batinku yang saat itu pun tak dibuatkan kopi oleh pihak Dinkes, padahal cuaca panas dan kami menempuh jarak yang cukup lumayan dari Bandar Lampung.

Tapi tak mengapa, walau bukan kadis, meski sekretaris dan kendati mengenakan kaos, proyek ini bertenggat waktu. Deadline memacu kami untuk terus bergerak. Dan sebagai profesional, apapun kendala di lapangan adalah tantangan untuk menggarap konten yang maksimal.

Kupikir hanya itu kekurangan proyek ini, namun kami mesti dalam situasi yang serba mengesalkan. Entah ini kesalahan Kabiro yang kurang koordinasi atau kebiasaan OPD di Kabupaten Provinsi Lampung.

Kami tak mengantungi surat rekomendasi dari Dinas Kesehatan untuk mengambil stok visual perihal item-item yang termakhtub dalam program mereka. Hasilnya, kami dihalangi petugas salah satu Puskesmas di sana ketika hendak mengambil visual pendukung program BMW bidang kesehatan. Kabiro, Pimred sempat bersitegang dengan dokter yang bertugas di Puskesmas itu.

Alasan mereka saat kami tak diizinkan meliput, Kepala Puskes sedang Dinas Luar sehingga tak ada yang berani mengizinkan kami untuk melakukan peliputan. Karena sudah tidak ada waktu untuk mendebatkan hal yang tak kompeten, Pimred mengambil keputusan. Tanpa izin, kami hanya mengambil gambar karena ini ruang publik maka tak perlu izin. Hanya, kami tidak bisa mendapat wawancara dari pihak Puskes.

Aku yang sejak perdebatan hanya diam memerhatikan mendapat kesempatan unjuk kompetensi sebagai peliput. Saat kamera men mengambil gambar, dan saat Pimred sedang menghubungi siapa itu aku tahu, aku berinteraksi dengan beberapa pegawai puskes. Sambil ketawa-ketiwi aku menjelaskan tujuan liputan ini dan wawancara yang kami butuhkan. Bak tersentuh nurani tulus, pihak puskes yang sedari tadi merengut akhirnya antusias dalam liputan ini. Bahkan mereka mengizinkan kami mengambil gambar ibu hamil yang sedang diberi layanan, mengizinkan kami mengambil gambar orang yang sedang berobat dan mengizinkan kami mewawancara pasien.

Secara kekeluargaan atau pun pertemanan, kami selesaikan tugas di salah satu puskesmas.
Giliran kami blusukan ke kampung di di desa yang ada di Kabupaten Tulang Bawang untuk mengambil stok gambar ambulan gratis dan layanan kesehatan serta insentif bagi tenaga kesehatan. Karena semua itu termasuk program BMW Winarti.

Kala itu, aku pindah mobil. Aku tidak lagi berlima dalam satu mobil tim produksi Monev. Aku pindah ke mobil kabiro karena kebetulan dia sendiri. Karena sudah tua, dan mungkin agak lambat maka aku disuruhnya menyetir.

Kelihaianku membawa mobil kembali teruji lantaran kendaraan yang kusetir tidak standar. Avanza Kabiro Tuba menggunakan ban lebar yang tentu bukan peruntukan kendaraan ini. Menempuh Km 60 saja, mobil ini goyang sehingga aku mesti ekstra hati-hati ketika menyalip fuso ataupun truck muatan penuh karena jalan yang kami lalui menuju kampung adalah jalur lintas.

Gocrak gujruk gocrak gujruk bunyi mobil kami melintasi jalan kampung berbatu. Memang ada yang aspal, tapi hanya beberapa meter dan itu pun aspalnya terluka.

Membandingkan hidup di kota, sungguh miris bertempat tinggal di Kabupaten Tulang Bawang. Apalagi bagi warga kampung ini. Jalannya sungguh-sungguh, kanan dan kiri pun masih tumbuh semak belukar serta pohon besar.

Untuk tiba di lokasi, kami membutuhkan waktu 30 sampai 45 menit. Selain karena luasnya wilayah, alasan utamanya karena perjalanan gucrak gujruk.

Betapa kami jengkel pula karena setelah sampai sungguh sulit menemukan kepala kampung. Namun beruntung karena saat kami hendak pulang terlihat mobil ambulance sedang terparkir di salah satu rumah.

Tidak ada orang di halaman rumah itu meski pintunya terbuka. Sebagaimana perasaan, benarlah supir ambulan atau penanggung jawabnya sedang tidak di rumah. Kami hanya bertemu anak perempuannya yang masih bocah dan tidak mengerti apapun sehingga tim produksi hanya bisa mengambil visual mobil yang terparkir.

“Duh aduh projek ratusan juta kok gini yaa. Masak mobil mati diambil gambar. Gimana mau produksi konten yang mengesankan,” batinku di bawah terik mentari Tulang Bawang yang menyengat debu.

Tak lami kami mengambil gambar karena memang sungguh-sungguh tak ada yang layak. Kami melanjutkan perjalanan pulang karena perut sudah tak tahan.

Di perjalanan pulang, Kabiro memintaku masuk ke balai kampung karena terpantau sedang ada acara. Terparkir di sana motor-motor warga serta bapak-bapak juga duduk di depan kantor.

Lagi dan lagi hal yang mengesalkan harus terjadi. Kabiro bertanya kepada Kaur Kampung di mana kepala kampung atau kepala dusun dan bagaimana untuk menemuinya.

“Ai kamu ini enggak nyambung. Saya ini dapat mandat dari pemkab untuk meliput kegiatan BMW. Ini kan acara BLT, bagian dari program BMW. Saya bersedia nunggu kepala kampung sampai acara selesai. Ini liputan baik bukan liputan kasus,” karena sangking kesalnya berdebat dengan kaur yang enggan memberitahu kedatangan kami kepada kepala kampung, maka kabiro menyentaknya demikian.

“Baiklah pak, silahkan kalau mau mengambil gambar. Tapi kalau untuk bertemu dengan kepala kampung, dia masih ada acara,” jawab Kaur.

Barangkali karena malas dan kesal serta jengkel, kabiro mengajak tim produksi langsung mengambil gambar.

Jelas kami kesal, kami sudah dua hari di sini. Tapi satu pun objek tidak ada yang siap diliput. Sedangkan ongkos dari Bandar Lampung menuju Tulang Bawang bukan puluhan ribu. Coba hitung berapa ongkos kami bolak balik masuk tol, belum lagi uang makan yang menyentuh 600 ribu rupiah, belum lagi jajan di Indomaret.

Tapi ini semua tidak akan terjadi, Andai Kabiro atau Pimred bisa melakukan koordinasi yang baik dengan OPD. Misal, meminta surat rekomendasi untuk turun ke kampung atau unit-unit yang gambarnya penting untuk kami ambil.

Terus terang, untuk projek macam ini dan semahal ini sangat diperlukan perencaan dan waktu untuk mengambil beberapa stok video. Untuk satu OPD atau untuk satu bidang BMW pun diperlukan kurang lebih 200 stok visual. Jadi tidak bisa main-main dalam urusan pengambilan gambar. Bagaimana saya ingin konten cinematik, dokumenter kalau gambarnya saja mencerminkan straight News. Duh aduh reputasi saya turun karena ini.

Seharusnya, projek ini yang mesti selesai akhir Desember 2022 ini sudah direncanakan Tim Produksi sejak oktober. Karena bukan hanya satu OPD tapi lebih dari lima, atau mungkin dalam perjalanannya ada 10 lebih OPD yang mesti kami ambil. Dalam waktu satu bulan, sungguh-sungguh untuk projek berdurasi 10-15 menit dengan detail visual yang mempuni walah mana cukup.

Tapi ini realita. Tim produksi mesti profesioanal menghadapi situasi yang sungguh jauh dari kata siap. Kami pun melaju pulang untuk kembali datang pada waktu yang ditentukan.

Sebelum sampai kantor lalu rumah dan kemudian rebah di kasur pembelian sekaligus pemberian orang tua, aku merenung di dalam mobil karena tiba-tiba terpikir terkait insentif tenaga posyandu yang kami wawancara saat di Balai Kampung yang namanya malas kusebutkan.

Namanya, ah sungguh tak tega aku menyebut nama petugas pemberi insentif itu. Yang penting dari ceritanya adalah hanya menerima 50 ribu rupiah setiap bulan dari yang seharusnya 75 ribu. Sungguh, bukan aku hendak menjadi manusia yang tak pandai bersyukur. Tapi lima puluh ribu rupiah itu dibelikan es cendol pun cukup sehari menghabiskan minuman tradisional nusantara itu. Dibelikan pecel atau nasi uduk pun tak butuh waktu dua hari untuk menghabiskannya. Duh, apalagi dalam data yang kami terima adalah 75 ribu yang mesti mereka terima. Artinya ada penyunatan dana insentif sebesar 25 ribu. Siapakah yang menyunat kepiluan itu? Aku tak mengerti walau bisa diinvestigasi tapi projek ini bukan untuk investigasi, melainkan liputan profil.

Baiklah karena pimred berteriak gembira saat kami keluar gerbang tol kota baru maka renunganku berakhir perihak kisah pilu peneriman insentif itu. Aku menyalakan rokok setelah minum tolak angin kemudian membaur dalam tawa rekan kerja.

Lebih lanjut, akan kuceritakan bagaimana proses editing tim produksi media kami sebelum kulanjutkan cerita tentang liputan di Kabupaten Tulang Bawang.

Tet, sekitar jam delapan pagi tim produksi bersama pemred meluncur ke Tulang Bawang. Kami hendak mengambil visual untuk program BMW bidang pendidikan. Hari itu tidak ada sarapan karena kami tiba sekitar pukul 10 pagi di Pemda Lama dan Kadis Pendidikan yang benama Ristu telah menunggu.

“Nah gini ngapa, OPD siap untuk menjabarkan segala program yang telah dijalankan,” batinku.

Begitu tibu dan kami semua salaman dengan Ristu, aku melihat antusias Kadis satu ini. Didampingi sekretaris, dia mengecek data perihal bahan yang akan dipaparkan. Dia pun tak ragu mengungkapkan kejengkelan atas kinerja bawahannya yang memberikan laporan asal-asalan.

Kalau semua OPD di Tulang Bawang antusias macam Ristu, tentu kami pun bahagia dan konten yang digarap pun mendekati sempurna. Dia tegas, jelas dan berirama dalam menjabarkan sesuatu. Bahkan ia tak ragu untuk mengulang penjabaran karena ada nama yang terselip.

Selain itu, dia juga memerintahkan sekretaris Dinas Pendidikan untuk menghubungi kepala sekolah-kepala sekolah agar memberi akses liputan pada kami.

Karena rekomendasi itu, sungguh-sungguh kami tidak ada halangan atau pun cegahan ketika masuk ke sekolah-sekolah. Pihak sekolah pun tampak siap menyambut kami. Di tiap sekolah, beberapa jenis jeruk, bakso, minuman pabrikan dan burgo disajikan untuk kami sehingga tak ada otot-oto kami yang lemas lantaran telat makan.

Suatu keindahan Andai semua OPD di Tulang Bawang antusiasnya sama dengan Disdiknya. Tapi sungguh sayang tidak semuanya seperti itu. Ada satu lagi OPD yang saya sendiri patut berterima kasih. OPD itu adalah Dinas Sosial Kabupaten Tulang Bawang.

Memang, kami tidak bisa bertemu dengan Kadis lantaran dia mendampingi Bupati Winarti menghadiri suatu acara, sehingga kami hanya bertemu dengan Kabid. Kabid ini jugalah yang melakukan pemaparan. Akan tetapi kami dibuatkan kopi dan disiapkan kue.

Selain itu, mereka juga bersedia memerintahkan jajarannya untuk menemani kami jemput bola ke kampung-kampung terkiat materi konten pemaparan program BMW bidang sosial.

Satu yang teringat juga, kami mendapat kabar sedih ketika hendak berpamitan. Kadis Sosial Tulang Bawang jatuh dan mulutnya berbusa ketika sedang menghadiri suatu acara.

“Semoga tak terjadi apa-apa dan semoga lekas sehat kembali,” barangkali batin kami semua berdoa di tengah keriuhan orang-orang Dinas Sosial yang mendapat kabar tersebut.

Kami pun pamit untuk blusukan ke kampung-kampung. Ditemani salah satu pegawai Dinas Sosial, aku dan rekan-rekan melihat ketakberdayaan masyarakat Lampung, lebih luas lagi masyarakat Indonesia yang hidup di tengah keprihatinan.

Janda dua anak, entah aku lupa namanya. Hidup di atas lahan kakaknya. Rumahnya terbuat dari papan. Dulu dia masih berpenghasilan, itu pun sehari tak lebih dari 15 ribu rupiah upah darinya membantu tetangga. Namun saat kami wawancara dengannya, sudah tidak lagi bekerja. Kebutuhan sehari-harinya hanya dari anak pertama yang bekerja membantu orang menggarap lahan.

Di situlah program BMW bidang sosial mewujudkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia. Keluarga itu menerima bantuan beras 10 Kg per bulan, sedikit meringankan beban.

Dan sedikit cerita tentang wawancaranya. Sungguh lugu salah satu warga Tulang Bawang ini. Mungkin lantaran tak memiliki cita-cita untuk menjadi sesuatu, maka baginya sulit untuk bercerita ketika aku bertanya. Tapi dia agak comel ketika menceritakan perih batin dalam kemiskinan. Dia ceritakan bagaimana susahnya mendapat makan.

Yang paling membuatku ingin cepat menghentikan wawancara, anak perempuannya yang masih berusia mungkin 10-12 tahun terus menggaruk-garuk tangan. Kata kawanku, ada suatu penyakit. Namun sungguh anak itu berkulit putih, berparas ayu. Andai dia hidup di tengah keluarga yang berkecukupan maka tentu dia akan menjadi gadis pujaan. Tapi semoga kehidupan itu berputar dan berbuah keberuntungan bagi keluarga ini, dan tentu keberuntungan bagi keluargaku juga.

Kami melanjutkan perjalanan ke penerima bantuan dana Disabilitas program BMW Tulang Bawang gagasan Bupati Winarti, masih ditemani utusan dari Dinas Sosial setempat.

Anak laki-laki yang saat itu berusia 11 tahun hanya duduk dan kadang menangis. Dia menderita kurang gizi.

Ketika kami bersilaturahmi, ibu dari anak ini sedang menemani anak ketiganya cukur rambut. Jadi kamu diterima oleh ayah dari anak 11 tahun penerima bantuan sosial program BMW.

Ayahnya bercerita, pernah ditolah salah satu rumah sakit di Bandar Lampung lantaran ingin operasi pita suara menggunakan BPJS. Ya, selain kurang gizi, pita suara anak itu juga bermasalah sehingga tak dapat berbicara.

Waktu itu tak ada bantuan dari pemerintah setempat, apatah lagi provinsi. Sampai suatu waktu kabar pahit keluarga itu terdengar ibu dandim setempat. Dia marah dan mengatakan

“Cepat operasi, kalau dinas tak mau menanggung biaya maka soal biaya saya sendiri yang menanggung,” cerita ayah anak itu.

Mereka pun membawa anak itu untuk operasi di salah satu rumah sakit di Kota Metro, Provinsi Lampung. Ayahnya sangat berterima kasih atas jajaran rumah sakit itu lantaran pelayanannya. Ketika ada masalah pada bekas operasi, pihak rumah sakit langsung meminta mereka membawa anak itu kembali. Sungguh kata ayahnya, itu hal yang jarang terjadi, apalagi setelah mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari rumah sakit di Bandar Lampung.

Perlakuan tak menyenangkan juga datang dari salah satu perkumpulan yang mengatasnamakan bantuan kemanusian. Ayah anak itu tak dapat menutupi kekesalannya ketika menceritakan hal itu. Jadi ada suatu perkumpulang yang mencari bantuan untuk biaya kesembuhan anak itu. Namun uang yang diberi hanya satu juta, hasil sumbangan warga, entah di jalan-jalan atau bagaimana yang jelas ini penggalangan dana. Lalu, tak ada lagi yang keluarga itu terima dari hasil penggalangan dana itu.

Prihatin, tapi beruntung melalui program BMW bantuan Dana Disabilitas, keluarga ini menerima Rp2.400.000 pertahun.

Ya hanya satu tahun, tapi tak mengapa karena barangkali pemerintah hanya memiliki uang segitu. Jadi kami melanjutkan kembali perjalanan untuk meliput bidang pertanian di Kabupaten Tulang Bawang.

Kami masuk ke perkampungan yang aksesnya sangat memprihatinkan jika kita tempun menggunakan kendaraan jenis sedan. Lubang besar dan kecil seolah tak mau kalah menghalangi perburuan waktu peliput.

Inikah program BMW yang dibanggakan seorang pemimpin itu? Ada beberapa meter jalan yang telah dirigit beton. Tapi itu tidak memuaskan dan jauh dari kata bermanfaat. hitungannya begitu; hanya setengah meter yang dirigit beton dari 10 1 kilo meter.

Akan tetapi keluh kesah ini berganti kegembiraan ketika kami sampai dan berbincang dengan para petani. Mereka merasakan bantuan irigasi program BMW Bupati Winarti. Karena program itu, dalam setahun mereka bisa panen padi hingga empat kali. Padahal standarnya setahun hanya 2 kali panen.

Yang lebih bagus lagi, ternyata para petani padi yang ada di kampung tersebut tidak menjual hasil panen. Mereka konsumsi sendiri padi-padi itu sebagai ketahanan pangan keluarga. Untuk hidup sehari-hari, para petani bekerja sebagai buruh bangunan atau menjual hasil kebun seperti membuat gula merah dari air nira.

Terlepas dari kontroversi program BMW, aku memiliki pengalaman berharga sebagai jurnalis, baik itu dari konsep produksi dan pengalaman bercengkrama dengan masyarakat serta melihat jelas bagaimana seorang pemimpin membanggakan diri sendiri atas pencapaian dan wawasan serta gagasan penentu kebijakannya.