oleh

Wanita Siemens Pinggir Bypass Lampung Tumbal Karat Pancasila

Oleh Muhammad Alfariezie

Entah akibat tumbal kehidupan, bangpak kepedulian sosial hingga tumbal perekonomian atau mungkin karena perasaan. Seorang wanita yang telah menjadi ibu, seorang wanita bertubuh agak gemuk kusam dari wajah hingga ujung kelingking namun berpakaian sexy menunggu menanti yang ingin menukar puluhan ribu dengan servis ala kadarnya.

Pernah suatu waktu dia menunggu entah korban atau perantara pemberi rejeki atau mungkin penjahat seks komersial tanpa belas kasih. Wanita berbikini berkulit kusam itu, dulu masih bisa dikatakan ideal dan sawo agak bersih usai mandi meski tak semulus dan berhias seperti penghibur lapak, open BO atau bermami– ia duduk di bangku trotoar depan kantor Bina Marga jalur dua Raja Basa depan terminal.

“Berapa main sama mba?” Tanya gerakan investigasi.

“100,” jawabnya.

“Saya cuma ada 40 ribu, bisa ya?”

“Main di mana, di gubuk sana mau gk?” Jawabnya.

“Tapi sampe masuk ya,” jawab tim penasaran. Namun karena batasnya sekadar untuk tulisan humant interest maka tim penasaran pergi menerapkan cara tertentu.

Beberapa minggu atau bulan, wanita itu kembali terlihat. Tapi dekil dan badannya bak ibu yang baru melahirkan (tambah gendut). Yang parah, penampilan dan kulit tubuhnya mohon maaf seperti orang yang butuh masuk rumah sakit jiwa.

Oke. Kita hanya dapat berdoa agar ia bisa diberi kelayakan hidup.

Tapi kenyataan kembali memerihkan. Kami pernah melihat wanita itu berbaju lusuh tapi yang dikenakan masih sepantasnya ibu rumah tangga, hanya kulitnya kian mengusam.

Ia berjalan dari arah pemukiman Raja Basa dekat terminal. Boleh jadi hendak ke warung untuk berhutang demi hidup remaja dan bayi yang baru lahir dari rahimnya tanpa siapa tahu ayahnya.

Detik ke menit lalu jam terus melaju. Salah satu tim investigasi melihat kembali wanita itu berkeliaran di bypass dekat islamic center atau asrama haji kota Bandar Lampung.

Kali itu, dia kembali berbikini corak pernak-pernik menyala di remang bulan. Tapi penjajah napsu layaknya kelontong sekarat, tetap saja bikini dan rok paha manik-manik itu batas citranya sekali lagi mohon maaf karena lebih baik tak disebutkan.

Satu orang dari tim kami keluar untuk menawarnya. Yang diminta, 100 ribu rupiah sekali main. Dia sok jual mahal ketika awal karena minta di hotel. Tapi kawan kami menawar 50 ribu.

“Main di mana?” Jawabnya masih tak bernada marah.

“Di sini aja,” kata rekan kami sambil menoleh ke selokan kering cukup besar dan cukuk untuk berpangkuan yang letaknya di belakang gubuk pinggir bypass.

“Nanti di liat orang,” tuturnya masih berusaha memikat aga dapat 50 ribu.

“Duitnya cuma 50 ribu geh,” jawab rekan kami.

“Yauda ke gubuk itu aja yok. Tapi duitnya duku ya,” ujarnya seraya melangkah di depan rekan kami menuju gubuk yang jika tersorot lampung kelihatan benderang.

“Main dululah. Baru uang saya beri,” kata rekan kami.

Wanita itu langsung marah. Kata-katanya memang tak jelas terdengar kawan kami. Tapi dia langsung pergi.

Kawan kami mengejar untuk memberikan uang itu tanpa servisnya. Dia makin marah.

Oke. Kawan kami menunggu di gubuk itu. Harapannya kembali layaknya ibu-ibu menawar suatu dagangan.

Ternyata wanita siemens terus berjalan menjauh. Dia berjalan ke arah mobil tim yang lampunya menyala. Seolah hendak menggoda kami untuk servisnya. Tapi kami pergi berputar arah.

“Kejar, kasih aja duitnya,” tutur kami.

Tapi hasilnya kawan kami justru dimarahinya lagi meski telah merayu dan meminta servisnya.

Kami berpaling dari masalah wanita itu. Di dalam mobil, kami berpendapat karena dulu pernah melihatnya belum selusuh itu.

Praduga kami, perasaannya terbantai anak-anak yang dilahirkan dari servis malamnya. Hutangnya kian menumpuk hingga menjadi landasan mulut busuk bising tetangga. Tambah lagi, tak tahu harus meminta pada siapa ketika mungkin si bayi perlu hangat asupan dan perlindungan lantaran wanita itu terusir Pancasila