(Bagian 2)
Oleh Yo Sugianto
Puisi dengan diksi-diksi sederhana, seperti
tulisan Anie Din, membuktikan bahwa soal
semacam itu tak perlu jadi masalah. Apa lagi
harus dibuang dari diksi puisi “berkualitas”.
Pengertian berkualitas pun bisa jadi perdebatan.
Apalah arti “berkualitas” dengan kata-kata indah
tapi hampa dalam makna?
Di Indonesia, mungkin juga di Malaysia, tak
banyak penyair yang menggarap puisi berdiksi
sederhana. Namun beberapa penyair muda
terlihat mulai menekuninya, dan ini merupakan
kabar gembira.
Puisi Anie Din berhasil menemui pembacanya,
tanpa menepikan kualitasnya. Tak hanya bisa dinikmati oleh mereka yang suka sastra, juga
akan diterima oleh mereka yang tak terbiasa
membaca sastra.
Ulasan Puisi CT Nurza
Bangga Yang Semu
CT Nurza menampilkan beragam tulisannya.
Tak hanya puisi, ada pantun, sonata, gurindam,
dan seloka. Tentu terasa kurang pas jika
mengacu pada buku yang berisikan kumpulan
Puisi.
Tapi kesilapan, jika bisa dibilang seperti itu,
yang ada tidak mengurangi ketertarikan saya
pada “Seloka : Bangga”, yang ditulisnya pada
2017 lalu. Seloka dengan sembilan bait yang
masing-masing berisikan dua baris.
Seperti dipahami, seloka merupakan salah
satu jenis puisi Melayu klasik yang di dalamnya
berisikan tentang perumpamaan ataupun
pepatah yang mengandung sindiran, ejekan, dan
juga senda gurauan.
Namun di dalam Seloka, yang merupakan kata
yang berasal dari bahasa sansekerta yaitu sloka,
isi seloka juga berupa petuah atau nasehat.
Bait terakhir “Seloka : Bangga” itu terasa
Menyentak:
Ramai berbangga taat bersolat,
usai bersolat mulut mengumpat.
Larik yang mengena dengan situasi yang
sering kita jumpai. Tak hanya pada individu saja
hal itu bisa saksikan, tapi juga segerombolan
orang yang mengumpat. Mereka yang dengan
bangganya membawa simbol-simbol agama
untuk melakukan hujatan.
Saat solat pun ada yang dengan bangga
melakukannya di jalanan, yang jelas itu milik dan
untuk umum. Seolah tak ada masjid yang mampu
menampung para jamaah.
Banyak rasa bangga yang kosong ketika nilai-
nilai spiritual yang kebanyakan hanya dipandang
dan ditafsirkan lewat jalan agama. Kian hari
sungguh kian angkuh, dan celakanya dibiarkan
sehingga dianggap biasa.
Kebanggaan serupa pada aspek lain, terbaca
pada larik Ramai berbangga isteri banyak/
nafkah terabai tidur tak nyenyak, yang disindir
dengan tepat oleh Nurza.
Larik-larik pada seloka itu pada akhirnya
mengingatkan kita pada perilaku sederhana. Tak
semestinya kita gegabah, besar kepala. Semakin
meningkat kehidupan seseorang secara ekonomi,
atau pun mendapat cap sebagai ahli agama,
semakin kuat ia harus makin merendah.
Kebanggaan yang semu pada akhirnya bisa
jadi membuat kita lalai dalam menyelesaikan
persoalan yang sebenarnya. Habis solat lalu
mengumpat, seperti melupakan untuk apa kita
bersolat, ke mana perginya nasehat dari khutbah
Jumat?
“Seloka : Bangga” bisa dipenggal jadi beberapa
puisi jika Nurza mau menjelajahinya dengan
mendalam. Di seloka itu tak hanya soal umat yang
setelah solat mengumpat, tapi juga mereka yang
punya rumah besar tapi ternyata dari hasil
hutang. Seperti juga yang beristeri banyak tapi
tidurnya jadi tak nyenyak.
(Bersambung)