Waras di Tengah Bobroknya Kebudayaan

Esai85 Dilihat
banner 300250

oleh
NovianPratama
(AktivisKultural, Aktif di Komunitas Berkat Yakin)

Sebagai upaya menjaga kewarasan, di 27 januari kemarin, para praktisi hingga pemerhati kebudayaan berkumpul di Gedung Kemahasiswaan Unila lt.2 di acara “Satu Malam 27an”. Merespon carut-marutnya kondisi kebudayaan di Lampung saat ini, diskusi itu difokuskan pada sebuah tema “Seni dan Budaya Untuk Lampung Berjaya”.

Malam diguyur hujan, namun perbincangan tak bisa lagi ditunda. Kopi sudah dihidangkan. Kegelisahan tak bisa lagi diabaikan. Tanpa banyak basa-basi, diskusi dibuka oleh salah satu pemateri, Gino Vanollie, dengan pemaparan segudang permasalahan kebudayaan di Lampung.

Pertama Gino, pemerhati budaya dan Kepala kantor DPD RI Provinsi Lampung itu menjelaskan bahwa keberadaan kita—“kita” di sini merujuk pada seluruh instrumen yang bertanggung jawab terhadap perkembangan kebudayaan di Lampung, mulai dari para intelektual, budayawan, hingga pemerintah—selama beberapa dekade ini tidak memberi dampak signifikan terhadap perkembangan kebudayaan di Lampung. Semuanya seolah berjalan masing-masing. Situasi auto-pilot tanpa arah dan tujuan yang jelas, terjadi. Seakan tak ada yang mengendalikan. Tak ada yang merencanakan. Tak ada yang bertanggung jawab. Tak ada yang peduli.

Ia mengambil contoh di ranah pendidikan. Kita memiliki banyak lembaga pendidikan tinggi dan tak kurang Doktor hingga guru besar. Namun sejauh ini keberadaan mereka seakan tak bermakna apa-apa dalam ranah kebudayaan.
Misalnya, tak pernah ada diskusi serius yang membahas bagaimana buruknya sistem pendidikan kita; tak pernah ada yang mengkritik soal penetapan pemangku kebijakan—mari kita lihat bagaimana Kepala Dinas Pendidikan ditempati oleh orang yang tak mengerti problematika pendidikan dan tak pernah terlibat dalam diskusi-diskusi semacamnya, kita lihat juga bagaimana Kadis-Kadis itu merangkap jabatan di lembaga bidang lain. Belum lagi jika membicarakan kemiskinan, kriminalitas, dan lain sebagainya: nalar kita sudah dijungkirbalikkan.

Mengukur kondisi kebudayan kita di kancah nasional, Gino membawa kita melihat data pengukuran IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Data membuktikan bahwa Provinsi Lampung berada diurutan terendah dibanding Provinsi lain yang ada di Sumatera. Hal itu sudah bisa mencerminkan bahwa kinerja Pemerintah tidak bermakna apa-apa terhadap kemajuan kebudayaan di Lampung.

Kebudayaan memiliki peran dan fungsi yang penting sebagai pijakan utama dalam tatanan kehidupan suatu bangsa, karena kemajuan di segala lini akan terjadi jika nilai-nilai kebudayaan kuat mengakar dalam setiap sendi kehidupan masyarakatnya.

Lalu ia mengajukan sebuah pertanyaan retoris untuk kita semua, apakah pijakan kebudayaan kita saat ini cukup memberi bekal untuk membawa kita keluar dari kemandekan peradaban di Lampung?

Di semua negara maju, seni dan budaya menjadi sektor pertama yang dibangun. Misal di negara Jepang, diukur dari aspek nilai-nilai luhur dalam masyarakatnya, “budaya malu” benar-benar menjadi penggerak kemajuan di segala lini. Mereka malu jika pendidikannya buruk, malu jika ekonominya tertinggal, dan sebagainya. Intinya, kemajuan peradaban mereka ditentukan oleh sektor kebudayaan.

Lalu mari kita bandingkan dengan Indonesia khususnya Lampung. Kita memiliki Pi’il Pesenggiri, nilai-nilai luhur yang kita sepakati sejauh ini. Namun faktanya nilai itu belum menjadi spirit, belum tertanam di kehidupan masyarakat. Hal itu harus kita luruskan, kebudayaan yang ada itu belum selesai. Kita musti menyesuaikan dengan keadaan sekarang. Terbukti kebudayaan kita tak memberi dampak apapun terhadap kemajuan Lampung.

Oleh karena itu, menurut Gino, kebudayaan kita perlu dire-orientasi dan didesain ulang untuk memajukan Lampung. Semua elemen harus berada di visi yang sama. Perlu sebuah cara agar semuanya saling satu padu untuk mewujudkan tujuan bersama.

Malam berjalan cepat. Tubuh kebudayaan kita, inci demi inci ditelanjangi dan boroknya nampak di mana-mana. Bau busuknya merebak memenuhi ruangan. Keresahan peserta diskusi makin menjadi. Namun itu semua belum cukup. Kini giliran Ari Pahala Hutabarat selaku pemateri kedua, angkat bicara.

Ari merespon fenomena ketidakpedulian komunal terhadap kondisi kebudayaan di Lampung itu. Apa saja opini, apa saja wacana yang muncul, selalu tak ada respon. Baginya, ini merupakan sebuah keabsurdan yang luar biasa. Lalu Budayawan dan Sutradara Komunitas Berkat Yakin itu melihat ada dua penyebab utama dari fenomena ini.

Yang pertama adalah kematangan kesadaran masyarakat kita masih rendah. Jika kita klasifikasikan, skemata masyarakat di Lampung masih berada di level ekonomi. Kita masih berada di level pedagang (Waisya) yang ingin beranjak ke level Ksatria. Sementara itu, seni dan budaya merupakan realitas yang berada di atas itu semua. Seni dan budaya terletak di level Brahmana, level tertinggi dari semua kasta. Itulah mengapa informasi tentang kebudayaan, tak mampu diserap oleh masyarakat.

“Kita sibuk mau jadi aparatur (Ksatria). Di Lampung, kita belum jadi ‘orang’ kalau belum jadi PNS atau Polisi,” ujarnya.

Yang kedua adalah tsunami informasi yang habis-habisan menerpa kita di era sekarang ini. Lewat media sosial misalnya, setiap hari kita diserbu oleh informasi, mulai dari yang paling penting hingga sampah. Maka setiap ada informasi penting seperti kasus yang sudah dipaparkan tadi, mulai dari masalah olahraga, pendidikan, apalagi yang menyangkut kebudayaan, akan tenggelam. Kita tak mampu lagi menyeleksi. Semuanya akan lewat begitu saja.

Kemudian merespon bahwa strategi pemajuan kebudayaan Lampung tidak akurat dan ngawur—bahkan ada kabupaten di Lampung yang meng-copypaste PPKD (Pokok Pikir Kebudayaan Daerah) dari provinsi lain—Ari mengatakan bahwa pemerintah saat ini tidak memiliki imajinasi tentang kondisi ideal Lampung.

Tanpa imajinasi, akan jadi omong kosong seluruh strategi dan tindakan. Urutannya seperti ini: imajinasi melahirkan visi; visi melahirkan pendekatan; pendekatan melahirkan metode; metode melahirkan strategi; strategi melahirkan taktik; taktik melahirkan aksi/tindakan/kegiatan.

Semua itu mesti ditempuh. Jika tidak maka hasilnya seperti ini: pemerintah membuat strategi tapi cuma formalitas; kita sibuk buat kegiatan tapi tak jelas kemana arahnya, kita sibuk mengajukan proposal tapi tak jelas realisasinya.

Maka jangan ujug-ujug bikin strategi kebudayaan. Perjelas dulu imajinasi kita tentang Lampung. Kebudayaan Lampung yang ideal untuk konteks Sumatera itu harus seperti apa? Apa keunggulan kompetitif kebudayaan kita? apa positioning yang akan kita berikan ke “pasar”?Citra seperti apa yang ingin kita bentuk tentang Lampung? Dan lain sebagainya. Nah, pertanyaan-pertanyaan semacam itu yang mesti diperjelas lebih dulu. Baru kita bisa punya visi yang jelas lalu merumuskan strategi yang tepat.

Lalu mengapa kita tak berpikir hingga ke sana? mengapa kebodohan ini terus saja terjadi di pihak pemerintah bahkan di kalangan para pelaku seni dan budaya?
Maka sebelum membicarakan imajinasi, hal yang harus kita miliki adalah goodwill. Di sini pangkal masalahnya.

Imajinasi hanyalah buah. Kita mau berimajinasi karena kita memiliki kehendak baik, dan celakanya, baik pemerintah maupun “kita”, tak ada goodwill untuk memikirkan kebudayaan di Lampung. Alih-alih memikirkan Lampung, kita sibuk mengenyangkan perut sendiri.

Ari telah mengajak audiens melihat masalah yang seakan tak ada jalan keluar itu. Namun kemudian ia beranjak, membawa audiens mengambil jarak lebih jauh lagi, untuk berjarak dengan diri sendiri.

Bagi Ari, sikap apatis, korup, dll memang sudah jadi wataknya pemerintah. Jadi jangan terlalu ambil pusing. Masalah yang lebih urgen ada di tengah kita, di kalangan intelektual, seniman, dan seluruh elemen yang bersangkutan: Telah terjadi pengkhiatan di kalangan kita sendiri! “orang-orang ini” bukannya melayani kepentingan kebudayaan, justru malah sibuk melayani pemerintah! Sibuk main dua kaki, cari proyek sana-sini, lalu lupa dengan tugasnya sendiri.
Maka ‘PR’ kita sekarang adalah bersatu! Kita rapatkan barisan. Kita samakan imajinasi, lalu kita hadapi Pemerintah. Solidaritas adalah poin pertama yang mesti kita bangun, agar bisa bahu-membahu memajukan seni dan budaya untuk Lampung yang berjaya.

Kini giliran peserta diskusi menyampaikan kegelisahan. Sesi tanya-jawab dibuka. Pernyataan dan pertanyaan terlontar dari bermacam persepsi. Namun waktu berjalan begitu cepat. Malam makin larut, dan diskusi harus dicukupkan. Orkes Bada Isya mendendangkan lagu penutup. Orang-orang pulang, dengan segudang keresahan baru tentang nasib kebudayaan di Lampung. Mungkinkah Lampung bisa berjaya?

Bandar Lampung, Januari 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *