Lampung Barat, bagian kenangan dalam hidup yang selalu jadi penyegar. Jalan menuju kabupaten yang sempat populer sebagai penghasil lada ini memang cukup jauh dari Bandar Lampung. Tapi suasana hutan register menjadi penyeimbang antara lelah dan hasrat.
Sepanjang jalan hutan register, kita berharap-harap cemas. Harimau atau gajah liar ingin sekali kulihat berjalan di tepi jalan.
Selain itu, perjalanan di sepanjang jalan hutan register menyejukan. Sinis panas geting matahari tak sanggup melawan baik rimbun nan hijau-hijau.
Di sana aku berkhayal, bersama partner liputan memiliki program macam National Geographic. Kami bersama Polisi Hutan (Polhut) merekam tiap peristiwa yang ada di sana dan kami merekam fauna serta flora langka yang berguna bagi manusia dan dunia.
…
Lampung Barat, bagian penting dalam perjalanan hidup. Pernah kutulis tentang Danau Ranau, kerajinan tangan celugam, destinasi wisata hingga rumah adat Paksi Pak Sekala Bekhak.
Tapi ada yang paling berkesan ketika mengunjungi Lampung Barat, yakni Suoh yang tak bisa kutulis sebagai materi jurnalistik pariwisata.
Suoh memiliki keindahan seperti daerah-daerah timur Indonesia. Suhu panasnya menumbuhkan alang-alang.
Alang-alang ini jadi inspirasi terbaik di tengah lebatnya hutan register. Di bawah rumpun berkarakteristik ini, ada danau hijau. Namanya dikenal sebagai danau Suoh.
Warna danau itu, menurutku merah kehijau-hijauan atau kebalikan. Luasnya tidak selebar danau Ranau. Tapi ketenangannya, kesan terbaik atas lelah dari semangat yang hampir punah.
Sayang kalau ke Suoh hanya berhenti di danau. Kata kekasihku, ada keramik estetik yang tercipta dari panas bumi.
Dari jauh, uap panas bumi pesona Suoh menggoda kita untuk lebih dekat; sekadar mengirup aromanya, selfie hingga berendam di air panasnya.
Aku menyewa kendaraan cross buatan warga setempat agar bisa menikmati susur lingkungan register.
Di sekeliling kami, rumpun alang-alang bertetangga dengan pohon-pohon rimba. Kekasihku bilang seraya memeluk erat di antara lolong alam dan derung kendaraan.
“I love you,” kata dia.
Cinta kala memasuki pesona Suoh melenyapkan beban masa depan. Kami sampai
Dari celah- celah keramik panas bumi ada selidi hingga sebatang uap mengudara. Aroma belerang memabukkanku tapi karena pertama, aku menerima tantangan berjalan di atas hangat bumi.
“Sayang tuntun,” kataku tertawa dan agak cemas.
Berjalan di keramik ini penuh harap-harap cemas. Aku takut pijakan ini jebol dan kami jadi rebusan.
Berada di area ini, aku tak sanggup. Padahal kekasihku mengajak kami ke cermin uap yang datar, yang luas dan yang pesonanya sungguh-sungguh.
Aku lemas di pangkuan kekasih. Kepala ini puyeng. Aku mual lantaran tak biasa di sekitar area belerang. Tapi di sini aku merasa bahagia, menemukan orang-orang baik, peduli dengan sakitku.
“Kenapa dek?”
“Mabok pak,” kataku terkulai.
“Coba sini, orang yang saya pijit biasanya sembuh,” kata bapak setengah abad lebih.
Dia meminta minyak kayu putih kepada perempuan yang menjaga warung. Dibalurnya minyak kayu putih ke leher hingga pundakku.
A e a e. Aku sendawa. Mungkin karena perut kembung. Pijatannya nyaman dan enak hingga aku merasa agak baikan. Namun mesti segera pulang karena sore menjelang.
Kami ditawarkan menginap di rumah warga yang kebetulan dia kepala Pokdarwis Suoh. Dia ingin kami merasakan bermalam di sekitar hutan register.
Kekasihku mengangguk, dan kulajukan mobil mengikuti motornya.
Biar biur. Aku mandi. Airnya sejuk dan segar. Namin aku khawatir karena mendenger suara grasak-grasuk dari balik dinding kamar mandi yang mengarah hutan sekaligus kebun.
Selesai makan, aku bertanya soal grasak-grusuk itu. Menurut pemilik rumah, suara itu dari babi hutan yang sedang mencari makanan. Waw, batinku. Mereka juga mengatakan, kedatangan babi hutan ditandai kehadiran lalat dan serangga yang lain.
Sayang, kami harus segera pulang. Supir berbisik padaku, “mas saya khawatir ada gajah.” Aku memandang kekasihku. Andai di perjalanan kami dihadang kawanan gajah atau harimau, matiku lantaran memeluknya kala di kepung hewan liar.
“Mas, kami pamit. Malam ini juga kami harus sampai Bandar Lampung,” izinku.
Di perjalanan, aku mengingat perkataan orang sana. Mereka ada yang berasal dari Talang Padang, Tanggamus. Tapi ada juga yang dari kabupaten lain, salah satu dari itu, Pringsewu.
Alasan mereka membuka lahan karena ekonomi dan perbaikan hidup serta menghindari omong-omong menyakitkan sosial. Dah
(Alfariezie)