Lampung memiliki potensi panas bumi terbesar ketiga di Indonesia, dengan potensi panas bumi hingga 2.867 MW atau sekitar 10 persen dari total potensi panas bumi Indonesia. Potensi ini juga yang kini dimanfaatkan petani kopi di Ulubelu untuk mengeringkan kopi hasil panen, yang jauh lebih cepat dibandingkan memanfaatkan panas matahari, termasuk merintis pengembangan produksi hidrogen hijau.
—–
Tanggamus–Awalnya Haidar (48) tak yakin mesin pengering biji kopi berbasis panas bumi bisa efektif mengeringkan biji kopinya.
Petani kopi di daerah Ulubelu, Kabupaten Tanggamus ini bahkan sempat khawatir biji kopi hasil panennya bakal turun kualitasnya.
Tapi setelah dicoba, Haidar dibikin takjub. Proses pengeringan biji kopi dengan panas bumi itu bisa memangkas waktu proses pengeringan dari yang semula membutuhkan waktu hingga 2 minggu, kini hanya butuh dua hari saja.
“Saya sampai menangis melihat hasilnya. Karena proses pengeringan biji kopi dengan panas bumi ini hasilnya bisa lebih maksimal dibanding dengan matahari,” tutur Haidar.
Apalagi, ketika itu harga kopi sedang mahal, sehingga petani memang harus segera menjualnya, mengingat harga kopi yang kerap tak stabil.
“Alhamdulillah, hasilnya bisa buat anak saya kuliah,” ujar Haidar.
Haidar adalah salah satu petani kopi di Ulubelu yang sudah merasakan benar manfaat panas bumi untuk pengeringan biji kopi hasil panennya.
Pemanfaatan mesin pengering berbasis panas bumi yang diinisiasi oleh Pertamina Geothermal Energy (PGE) Ulubelu itu memang baru dikenalkan ke petani kopi setempat.
Hasilnya memang dirasakan langsung oleh petani kopi Ulubelu, proses pengeringan biji-biji kopi hasil panen mereka bisa lebih cepat dan maksimal daripada sebelumnya.
Sebelumnya, petani kopi memang hanya memanfaatkan panas matahari untuk proses pengeringan biji-biji kopi.
Namun, banyak kendala yang harus dihadapi, mulai dari kondisi cuaca yang kerap tak menentu dan proses pengeringan yang memakan waktu hingga berminggu-minggu.
Tak hanya itu saja, metode pengeringan biji kopi dengan matahari diakui amat berpengaruh pada kualitas kopi yang dihasilkan.
Karena, proses penjemuran biji kopi yang berada di dekat jalan raya membuat asap kendaraan hingga debu langsung terserap ke biji-biji kopi yang dijemur.
Akibat kontaminasi udara dan debu ini membuat kualitas biji kopi berpengaruh, khususnya dalam hal rasa dan aroma.
Hal ini pulalah yang kemudian coba diaplikasikan oleh PGE, dengan menawarkan solusi pemanfaatan panas bumi untuk pengeringan biji kopi.
Meski baru sebatas uji coba melalui program ESG, namun Pertamina Geothermal Energy melihat efektivitas mesin pengering berbasis panas bumi ini terhadap sektor agribisnis.
Apalagi, Lampung dikenal sebagai salah satu penghasil kopi robusta terbesar di Indonesia, namun sampai sejauh ini proses pengolahan biji kopinya masih dilakukan dengan cara tradisional.
Proses pengeringan biji kopi melalui panas bumi ini dianggap efektif untuk memberikan kopi berkualitas terbaik melalui metode pengeringan yang higienis sekaligus ramah lingkungan.
Pilot Project Hidrogen Hijau
Selain pemanfaatan panas bumi untuk sektor agribisnis, PGE juga tengah fokus menggarap pilot project hidrogen hijau (green hydrogen) di Ulubelu.
Proyek percontohan yang sudah dimulai sejak tahun 2023 ini, ditargetkan bisa memproduksi hingga 100 kilogram hidrogen hijau perhari yang akan digunakan untuk memasok kebutuhan hidrogen di pabrik polypropylene milik Pertamina.
Targetnya, selain memasok untuk pabrik Pertamina, juga memenuhi kebutuhan industri petrokimia lokal.
Direktur Operasi Pertamina Geothermal Energy, Ahmad Yani mengatakan saat ini proyek percontohan produksi hidrogen hijau itu tengah dalam proses pengembangan pembangkit berbasis hidrogen hijau.
Pengembangan hidrogen hijau dengan pemanfaatan kondensat panas bumi yang tengah dilakukan PGE ini sejalan dengan program Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM yang melihat hidrogen hijau memegang peran strategis untuk mengejar target dekarbonisasi sistem energi di tingkat global.
Dengan sasaran utama akselerasi sumber energi baru dan terbarukan, hidrogen hijau bakal menjadi salah satu kontributor utama dalam hal transisi energi.
Hal ini pulalah yang coba dirumuskan oleh pemerintah melalui Kementerian ESDM dengan memasukkan regulasi tentang aturan pemanfaatan hidrogen dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan yang akan segera disahkan oleh DPR.
Dalam regulasi ini juga, pemerintah bahkan berencana akan memberikan insentif keuangan untuk sektor publik maupun privat yang akan mengoptimalkan hidrogen hijau.
Hal ini dilakukan mengingat potensi pasar untuk hidrogen hijau sangat besar. Di Indonesia saja, kebutuhan pasokan hidrogen hijau mencapai 1.895 kT/tahun, yang diperuntukkan bagi industri seperti urea, amonia, refinery dan methanol, termasuk untuk permintaan pembuatan biofuel, baja hijau, sel bahan bakar kendaraan berat hingga jaringan pulau.
Karenanya, melihat besarnya potensi panas bumi sebagai pendukung upaya transisi energi, PGE WKP Ulubelu akan terus memaksimalkan pemanfaatan panas bumi tak hanya semata untuk suplai ketenagalistrikan saja.
Terlebih, saat ini PLTP Ulubelu juga berhasil melakukan uji datar sumur Klaster M yang diestimasikan memiliki kemampuan produksi hingga 24 MW.
Dengan penambahan sumur klaster baru ini juga, PGE optimis PLTP Ulubelu bisa menjadi penyumbang kapasitas tertinggi hingga 31,5 persen dari total target 1 GW yang akan dihasilkan Pertamina Geothermal Energi pada tahun 2026 mendatang.
Pencapaian ini juga tentu menjadi kabar baik, ditengah isu kelangkaan uap di tingkat global, sehingga Indonesia bisa mengambil peran penting dalam upaya transisi energi terbarukan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE).
Melimpahnya potensi panas bumi di Lampung sebagai yang terbesar ketiga di Indonesia, dengan potensi hingga 2.867 MW memang amat bisa diandalkan sebagai tulang punggung transisi energi utama bagi Indonesia.
Potensi ini tersebar di 6 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Lampung, meliputi; Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Waykanan dan Kota Bandar Lampung.
Keenam kabupaten/kota yang memiliki potensi panas bumi itu masuk dalam wilayah kerja panas bumi (WKP) Kementerian ESDM.
Saat ini, dua WKP yakni; PLTP Suoh Sekincau dan PLTP Rajabasa tengah dalam proses pengembangan.
Dan, untuk mendukung upaya transisi energi terbarukan dengan basis panas bumi dan potensi energi terbarukan lainnya itu pula, Pemprov Lampung juga sudah membuat Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED).
Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang dibuat sebagai penopang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) ini dibuat untuk menciptakan keamanan pasokan energi nasional yang berkelanjutan serta pemanfaatan energi secara efisien.
Selain itu, untuk melepas ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dengan mengoptimalkan sumber energi baru dan terbarukan yang lebih bersih serta ramah lingkungan. (Meza Swastika)