Era Liga Sepak Bola Utama (Galatama), provinsi Lampung diperhitungkan karena memiliki club berjuluk Gajah Lampung. Namanya Jaka Utama yang kepemilikkannya dipegang olah Marzuli. Selain itu, Jaka Utama mempunyai pemain yang menjadi kapten pada PON ke XI di Senayan.
Kapten itu bernama H. Sudaryanto. Akrab dipanggail Encang Sudaryanto.
Pada sore yang cerah, kala matahari gontai memberi cahaya kepulangan pada daun-daun— Haji Encang Sudaryanto duduk di antara kawan-kawan yang bukan seprofesinya. Dia sedang menikmati suasana sore di suatu rumah yang bertempat di Jalan Way Semangka, Pahoman. Rumah itu dimiliki seorang ahli teknik mesin yang bernama Ido.
Encang Sudaryanto tidak sebagaimana kawan-kawannya yang asyik mengobrol perihal apa pun. Di sana, dia asyik meresapi udara sejuk; seperti sedang menghayati kenangan bersama tim PON XI sepak bola dan clubnya, Jaka Utama. Saat ini, semua tinggal kenangan manis Sang Kapten yang berposisi sebagai Bek Kiri.
Masa keemasan Lampung tercatat pada PON X 1981. Marzuli sebagai pembina berhasil mengantar Gajah Lampung sebagai tim yang disegani. Underdog, begitulah lawan-lawan besar dari Jawa dan Sumatera Utara menyebut tim sepak bola Lampung pada masa yang telah berlalu.
Sudaryanto menjadi pemain andalan Marzuli, seorang pembina sekaligus pemilik Jaka Utama. Sudah sejak usia Haji Encang Sudaryanto masih 10 tahun, Marzuli mengaguminya. Kala itu, Encang bergabung dengan klub anak gawang. Namun, kesempatan untuk mengembangkan kedisiplinan serta teknik sepak bola datang kepadanya.
Tim Uniom Stength (UMS) Jakarta menjadi tempat Encang mencari ilmu seni lapangan hijau. Marzuli yang melihat bakat dan gaya permainannya pun enggan menyiakan kesempatan untuk membawa Sudaryanto ke dalam sekuat Jaka Utama.
Menjadi Kaptennya Rahmad Darmawan
Sebagai Kapten Lampung pada PON XI di senayan, Encang Sudaryanto mempunyai tanggung jawab menjalin kedekatan kepada tiap pemain. Tujuannya agar tim bermain lebih lugas, elegant dan tidak canggung saat bertanding melawan tim kecil mau pun tim yang memiliki nama besar dan bergelar juara.
Rahmad Darmawan yang sekarang menjadi pelatih berlabel juara di Indonesia mau pun Malaysia, pernah dekat dengan Encang Sudaryanto. Porong adalah nama panggilan dari Kapten Sudaryanto untuk Marinir yang mencintai sepak bola tersebut.
“Dia nganggep saya abangnya. Pernah suatu waktu dia dan timnya main di Lampung. Saya nonton di tribun stadion. Saya enggak nyangka juga kalau dia mencari-cari saya. Waktu itu saya menggunakan topi. Tapi dia enggak lupa dengan saya. Dia menghampiri saya,” kata Encang.
“Rahmad Darmawan itu dari PON 11, bareng dengan saya. Dia saya panggil porong. Kalau posisinya, dulu striker. Di situ dia baru mulai meniti karir. Saya bilang ke dia, Mad, Lu latihan di pebarnas. Itu khusus bola. Dari situ, dia Maju. Sekarang, seperti yang kita ketahui, tiap orang Indonesia yang suka bola, pasti tahu siapa Rahmad Darmawan,” ujar Encang sembari tertawa.
Encang Rindu Sorak Sorai Kesuksesan Sepak Bola Lampung
Kabupaten yang sepak bolanya kuat banyak. Pringsewu, Kota Bandar Lampung juga kuat. Tapi masalahnya para pemain masih kurang disiplin. Kebanyakan mereka liat pelatih. Kalau pelatihnya enggak top maka pemain juga ogah-ogahan,” katanya.
“Kalau saya melatih sepak bola, saya akan melihat pemain itu disiplin atau tidak. Karena sepak bola itu keras tapi bukan kasar. Jadi, kalau main-main, pertama saya tegur. Ditegur tidak bisa, maka pemain itu saya coret. Enggak peduli dia bagus, egak peduli dia titipannya siapa. Saya pelatihnya,” ujar Haji Sudaryanto.
Untuk membina bakat-bakat pemain muda Lampung, menurut Encang mesti ada keseriusan pemerintah dan pengurus. Dana yang besar perlu dialokasikan untuk membangun sarana dan prasarana pemain agar giat berlatih. Selain itu, ada pemusatan pengelolaan fisik pemain. Pemain mesti disiapkan menjadi atlet yang prima. Makanannya, minimal dalam sehari mesti 3000 kalori. Lalu, pola tidur mesti diatur karena pemain yang kurang istirahat rentan cidera.
Menurut Encang, tidak bisa instan dalam membesarkan club sepak bola. Satu alasan kenapa sepak bola Lampung tertinggal karena pembinaan pemain muda serta sarana dan prasarana yang tersedia.
“Fisik pemain di luar negeri, sama kita beda. Kalau di luar, sudah dari di bawah usia 10 tahun dilatih main bola. Kalau kita baru dilatih secara serius mulai dari 10 atau 12 tahun,” Jelas Encang.
“Saya dulu latihan satu hari 20 kali. Kalau latihan nembak pinalti, dalam sehari 60 bola. Pagi 20, siang 20, sore 20. Di luar juga begitu. Ada nomor, ada gawang kecil. Kita belajar nembak ke nomor itu biar tendangan kita terawrah. Kalau lari, lari pakai rompi berisi pasir,” lanjutnya
Kalo fisik, ketika pagi, pelatih enggak pernah ngasih bola. Kita fokus latihan fisik. Jam setengah 7 mulai latihan, jam 9 istirahat, jam 10 latihan lagi sampai setengah 12. Sorenya baru latihan main,” tutupnya seraya mengisap asap Djia Sam Soe pada sore di sudut Pahoman ketika menjelang maghrib.
(PL 03)