Oleh Isbedy Stiawan ZS
SEPERTINYA masa pandemi Covid 19 bukan saja membuat kita dicekam cemas, tapi “otak” pun menjadi bolak-balik. Seakan sesuatu yang realitas dianggap tak logis. Yang semula akal kemudian tidak rasional.
Rasional juga jadi kebalik-balik, tumpang-tindih, dan terasa absurd.
Kita kelihangan ilmu deret atau hitung. Boleh jadi pemahaman matematika kita menurun, ikut tidak imun.
Dan, gelagat ini dilakukan pejabat. Ini yang justru ironi. Misal, hitungan jumlah vaksin yang telah diterima Pemprov Lampung dan yang belum. Lalu hitungan jadi berbeda.
Soal PP yang mengubah status rektor UI dari melarang rangkap jabatan (UI dan BRI), di PP yang dikeluarkan Juli 2021 tidak lagi dilarang. Alias dibolehkan bin dihalalkan. Walau kemudian, rektor UI diolok-olok netizen. Membaca twit olok-olok yang lucu itu, boleh sejenak tertawa di tengah kecemasan ancaman Covid 19 yang terus menggila.
Peraturan Pemerintah yang ditengarai tidak rasional di tengah duka cita bangsa oleh pandemi. PP yang jelas-jelas membahagiakan segelintir orang – tentu yang dekat dengan kekuasaan – di atas anak bangsa lainnya yang mengais-mengeos berburu rezeki, dalam ancaman peraturan PPKM dan Covid 19 yang entah kapan berakhir.
Pendapat pejabat yang kerap berbeda antara yang satu dengan lainnya. Matematis yang tidak sama ihwal masa berakhir Covid 19, perpanjangan PPKM Darurat yang diberlakulan dengan kira-kira. Semua ini justru melemahkan “kekebalan” tubuh masyarakat dari hantaman virus.
Ketidakrasional yang dianggap aneh, saat pemerintah mengumumkan perpanjangan PPKM Dadurat setelah berakhir PPKM Darurat periode pertama.
Disebut, bahwa PPKM Darurat yang baru berakhir dinilai positif berhasil. Itu dibuktikan dari rumah sakit tidak sesak, BOR banyak kosong. Tetapi di luar itu, masyarakat yang terpapar Covid 19 masih tinggi.
Rasionalkah itu? Logiskah kalimat tersebut?
Sederhanya, penetapan PPKM Darurat belum berhasil. Apa pun alasannya.
Sebab, boleh jadi pasien Covid tidak memilih dirawat di RS. Melainkan, barangkali, melakukan isolasi mandiri (isoman) di rumah. Soal ini bisa banyak alasan: karena pemberlakuan PPKM Darurat, sehingga bakal ribet kalau menembus barikade saat masuk-keluar kota yang “ditutup” karenanya wajar RS tak sesak oleh pasien dan BOR banyak kosong. Ingin mengurus diri biar nyaman dan aman ketimbang dipegang “perawat” RS. Sebab pasien dari keluarga mampu dan serupa itu.
Bisa saja bukan? Dan bisa banyak lagi asalan kenapa RS sepi dan BOR banyak kosong, sementara jumlah masyarakat yang terpapar Covid belum juga landai.
Kita perlu merasionalkan akal agar apa yang kita terima dari kelas soal pelajaran matematika, benar-benar berfaedah. Wallahualam bissawab.
Salam.