Dua dekade sudah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Selama itu pula, pengawal konstitusi ini terus berproses ke arah yang lebih baik, dalam fungsinya sebagai lembaga penafsir konstitusi, pelindung hak konstitusi dan pengawal demokrasi.
Bandar Lampung – Mata Sahriwansyah terus menatap layar smartphonenya yang tengah menayangkan secara langsung pembacaan putusan terhadap permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, pertengahan Juni 2023 lalu.
Pedagang ikan di Pasar Gintung, Kota Bandar Lampung itu tak henti-hentinya mengucap syukur, ketika pada akhirnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menolak permohonan pemohon dan sistem pemilu tetap menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka.
“Saya bahagia sekali mendengar putusan itu. Akhirnya, saya optimis maju menjadi caleg untuk memperjuangkan nasib para pedagang,” kenang Sahriwansyah.
Awalnya, keputusan Sahriwansyah untuk maju dalam Pemilu 2024 bermula dari dorongan teman-teman sesama pedagang yang memintanya untuk membawa aspirasi para pedagang di parlemen.
Sebagai pedagang kecil, Sahriwansyah sadar diri.
Ia tak punya modal yang cukup apalagi harus bersaing dengan caleg yang punya modal besar untuk bersaing meraih simpati dalam kontestasi lima tahunan itu, tapi dukungan dari pedagang-pedagang lain di pasar tempatnya berjualan ikan, membuatnya optimis maju.“Teman-teman meminta saya untuk maju memperjuangkan nasib pedagang kecil seperti kami”.
Sejak itu, ia mantap bergabung di parpol dan menjadi salah satu bakal caleg meski harus puas mendapat nomor urut besar.
“Saya tak terlalu mempermasalahkan nomor urut yang saya peroleh karena undang-undang pemilu menerapkan sistem proporsional terbuka, sehingga tingkat keterpilihannya juga besar,” tuturnya.
Sampai kemudian, muncul permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap sistem pemilu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang membuatnya khawatir,”kalau tidak pakai sistem proporsional terbuka, mau sebanyak apapun suara yang saya peroleh, partai punya hak prerogatif untuk menentukan siapa yang duduk di parlemen, sedangkan saya tak punya akses untuk melakukan lobi-lobi di parpol. Kalau seperti itu, aspirasi teman-teman pedagang akan sulit diakomodir,” terangnya lagi.
Namun, Mahkamah Konstitusi rupanya lebih memihak kepada Sahriwansyah dan mayoritas caleg lainnya yang memutuskan bahwa sistem pemilu tetap menggunakan proporsional dengan daftar terbuka.
Mahkamah menilai sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka lebih dekat dengan sistem pemilu sesuai yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Sahriwansyah menilai putusan Mahkamah Konstitusi ini sudah memenuhi rasa keadilan untuk semua rakyat Indonesia yang memiliki hak yang sama untuk ikut dalam kontestasi Pemilu 2024.
“Saya tak pernah membayangkan jika putusan Mahkamah Konstitusi ternyata mampu memberikan rasa keadilan yang bisa dirasakan secara langsung untuk orang-orang kecil seperti saya,” kenang Sahriwansyah.
Dua Dekade “Sang Pengawal Konstitusi”
Sahriwansyah adalah satu dari sekian banyak masyarakat di Indonesia yang merasakan langsung kehadiran Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai pengawal konstitusi sekaligus menjadi harapan terpenuhinya rasa keadilan untuk seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Sebagai lembaga tinggi negara, Mahkamah Konstitusi telah menjelma menjadi sebuah harapan penegakan konstitusi di Indonesia, yang dalam perjalanannya kini, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sudah memasuki usia dua dekade sejak dibentuk pada tahun 2003 lalu.
Telah banyak peran penting yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam penegakan konstitusi di Indonesia.
Sepanjang tahun 2003-2022 saja, Mahkamah Konstitusi telah meregistrasi sebanyak 3.463 perkara. Dengan, 1.603 perkara berupa pengujian undang-undang (PUU), 29 perkara sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN), 676 perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) serta 1.136 perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP Kada).
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Anwar Usman menyebut selama periode itu pula setidaknya terdapat empat undang-undang yang berulang kali diuji, yakni; UU Pemilu (25 kali), UU IKN sebanyak 10 kali, UU Pilkada sebanyak 7 kali dan KUHAP sebanyak 4 kali.
Dalam perjalanannya, Mahkamah Konstitusi mengalami begitu banyak dinamika yang membuat lembaga ini makin profesional dan berintegritas dalam memutuskan sebuah perkara.
Meski demikian, Anwar Usman mengakui masih banyak masyarakat hingga pejabat yang belum memahami keberadaan hingga produk hukum yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebagai lembaga tinggi negara, lanjut Anwar Usman, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk memutuskan perkara yang bersifat final sesuai dengan Pasal 24 C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Hanya saja, masih banyak pihak yang menolak atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
“Sampai kapan pun putusan hakin tidak akan bisa memuaskan semua pihak,” kata Anwar Usman dalam sebuah seminar akhir tahun 2022 lalu.
Kembalinya Kepercayaan Publik Terhadap Mahkamah Konstitusi
Dalam prosesnya, meski Mahkamah Konstitusi sempat mengalami titik terendah di tahun 2013, perlahan tapi pasti Mahkamah Konstitusi terus membangun kembali profesionalitas dan integritasnya dengan memberikan kemudahan akses dan proses peradilan yang transparan kepada publik.
Kembalinya antusiasme dan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi ini, menjadi penanda bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terus berproses untuk kembali menjadi representasi keadilan dan kepastian hukum terhadap hak-hak konstitusional seluruh warga negara.
Ahli hukum tata negara Prof.Dr. Bayu Dwi Anggono pun mengakui hal tersebut, tingginya tingkat keterpercayaan publik terhadap MK saat ini dapat dilihat dari tren pengajuan uji undang-undang di Mahkamah Konstitusi yang terus bergerak naik.
“Publik sangat antusias untuk melakukan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Ini artinya, Mahkamah Konstitusi tidak hanya berhasil mengembalikan kepercayaan publik tapi juga mampu mengembalikan marwah lembaga,” terang Bayu Dwi Anggono.
Kemudahan Akses dan Keterbukaan Informasi
Tingginya tingkat kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi ini, lanjut Bayu Dwi Anggono lagi, lebih didasari faktor kemudahan akses (access to justice) serta keterbukaan informasi yang selama ini diterapkan di Mahkamah Konstitusi.
Selain proses persidangan di Mahkamah Konstitusi yang dilakukan secara terbuka dan disiarkan secara langsung, Mahkamah Konstitusi juga memberikan banyak kemudahan akses dalam hal proses pengajuan pengajuan permohonannya baik Pengujian Undang-Undang (PUU), Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) dan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada).
Saat ini, pengajuan permohonan ke Mahkamah Konstitusi dapat dilakukan secara online melalui Sistem Informasi Penanganan Perkara Elektronik (Simpel) di laman resmi Mahkamah Konstitusi. Kemudian, permohonan yang dinyatakan memenuhi syarat dicatat di Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) melalui sistem e-BPRK dan pemohon akan menerima Akta Registrasi Perkara Konstitusi (ARPK).
Kemudahan-kemudahan ini yang kemudian dimanfaatkan oleh warga negara untuk memperoleh keadilan hak konstitusinya melalui pengajuan permohonan di Mahkamah Konstitusi.
“Kemudahan akses dan keterbukaan informasi dalam proses mengadili perkara itu yang kemudian membuat kepercayaan dan kesadaran warga negara untuk memperjuangkan haknya di Mahkamah Konstitusi menjadi sangat tinggi,” terang Bayu lagi.
Permohonan-permohonan pengujian undang-undang yang masuk ke Mahkamah Konstitusi pun beragam mulai dari perkara permohonan pengujian Pasal 491 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kewajiban untuk menjaga orang gila yang diajukan oleh dua orang mahasiswa, gugatan terhadap Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan oleh Ignatius Ryan Tumiwa pada tahun 2014 yang berinisiatif untuk melakukan suntik mati terhadap dirinya sendiri (euthanasia), hingga pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Adaptasi Teknologi Informasi Mahkamah Konstitusi Menuju Peradilan Modern
Dalam hal adaptasi terhadap perkembangan teknologi informasi, sejak awal berdiri, Mahkamah Konstitusi memang sudah menasbihkan dirinya sebagai lembaga peradilan yang modern. Dan, penggunaan teknologi informasi pada prinsipnya memang sudah diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pemanfaatan teknologi informasi kian dibutuhkan oleh Mahkamah Konstitusi, mana kala pandemi Covid-19 merebak, sehingga proses peradilan harus pula menyesuaikan keadaan pandemi dengan menerapkan persidangan virtual.
Layanan peradilan Mahkamah Konstitusi kemudian dilakukan secara online dengan mempertimbangkan aspek utama seperti kesehatan, keselamatan dan kemanusiaan tanpa mengurangi esensi dari proses peradilan itu sendiri.
Meski demikian, konsep peradilan jarak jauh ini sebenarnya sudah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi jauh sebelum pandemi terjadi. Tepatnya di tahun 2009, Mahkamah Konstitusi pernah memelopori sidang jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi video conference sesuai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filling) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh.
Mahkamah Konstitusi juga bekerjasama dengan 60 perguruan tinggi di seluruh Indonesia dengan menempatkan perangkat video conference sebagai smart board mini court yang memungkinkan para pihak untuk tidak harus datang langsung ke ruang sidang Mahkamah Konstitusi, melainkan cukup datang ke perguruan tinggi terdekat yang bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi.
Konsep persidangan secara virtual yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi ini adalah bagian tak terpisahkan dari penerapan e-Court yang mengintegrasikan perangkat peradilan berbasis teknologi terkini.
Penghargaan atas Keterbukaan Informasi dan Transparansi Mahkamah Konstitusi
Dalam hal keterbukaan informasi dan kemudahan akses ini pula, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia secara berturut-turut sejak tahun 2018 sampai dengan tahun 2020 meraih penghargaan dari Komisi Informasi Pusat sebagai badan publik paling informatif untuk kategori lembaga non kementerian.
Tak hanya itu saja, Museum Rekor Dunia Indonesia juga memberikan penghargaan kepada Mahkamah Konstitusi yang berhasil memecahkan rekor dalam proses peradilan paling transparan di tahun 2019.
Mahkamah Konstitusi juga meraih berbagai penghargaan bergengsi dari berbagai lembaga, seperti; Kemenkum HAM, KemenPAN-RB, Kementerian Keuangan, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), KPAI, Komisi Informasi Pusat, Arsip Nasional, BKN, Bawaslu RI, sebagai wujud profesionalitas lembaga ini dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Mahkamah Konstitusi dan Tantangan Pemilu 2024
Menjelang pemilu dan pilkada tahun 2024, Mahkamah Konstitusi dihadapi tantangan yang sangat berat, khususnya terhadap kemungkinan terjadinya gugatan terhadap hasil pemilu maupun hasil pilkada, kondisi kian kompleks mana kala pelaksanaan pemilu dan pilkada dilakukan serentak di tahun yang sama dengan waktu tahapan yang saling beririsan.
Mahkamah Konstitusi bukan hanya dihadapi dengan tantangan banyaknya gugatan yang muncul saat pesta demokrasi itu berlangsung, tapi juga dihadapi dengan tenggat waktu putusan yang sangat pendek, baik untuk pemilu legislatif, pilpres dan pilkada.
Di sisi lain, pasca terbitnya putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 yang membatalkan pembentukan Badan Peradilan Pilkada seperti yang diamanatkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada, kian meneguhkan peran Mahkamah Konstitusi bahwa lembaga inilah yang berhak mengadili sengketa pilkada serentak 2024.
Meski demikian, Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Anwar Usman menegaskan bahwa MK telah siap menghadapi berbagai konsekuensi hasil Pemilu 2024. Terlebih, MK kini terus berproses untuk menjadi peradilan yang modern, sederhana, cepat serta tanpa biaya.
“MK akan selalu memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat untuk memanfaatkan keberadaan MK secara optimal. Dan, kami akan terus mengembangkan proses beracara ke arah yang lebih baik lagi sebagai ikhtiar untuk selalu memberikan kemudahan terhadap para pencari keadilan,” kata Anwar Usman dalam kuliah perdana mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA) tahun 2022 lalu. (Meza Swastika)