*Oleh, Isbedy Stiawan ZS*
BAGI warga Kota Metro, Provinsi Lampung — khususnya kalangan seniman dan aktifis — dipastikan mengenal Syamsurizal.
Ia adalah maestro pelukis Kota Metro yang sempat “nyantrik” di Yogyakarta. Pelukis kelahiran 24 April 1959 ini kerap menggelar pameran lukisan di berbagai kota di luar Lampung.
Kabar duka saya peroleh dari status IG Dewan Kesenian Metro. Syamsurizal wafat 02 Juni 2022 pukul 08.16. Selamat jalan.
*Mengenal Syamsurizal*
Saya mengenal Syamsurizal pertama kali saat pemeran bersama perupa Lampung di Metro. Saya datang bersama pelukis Indramayu, Dirot Kadirah dan isteri saya. Kami hadir sudah lewat pukul 18.00. Langsung menikmati karya-karya lukis yang dipajang.
Mata saya, entah mengapa, tertuju pada sejumlah karya Syamsurizal. Saya dekati. Menikmati dari dekat. Agar tak berjarak. Memasuki hal-hal yang tersembunyi dari karya-karya sang maestro yang condong abstrak. Terasa kekuatan warna dan usapan kwas dalam sebidang kanvasnya.
Ia bukan pendatang baru dalam dunia senirupa. Itu kesanku pertama kali menikmati karya-karya lukisnya. Bisa ditelusuri di media FB miliknya (saya berkawan di media sosial, sejatinya belum lama).
Dirot juga mengakui kekuatan karya-karya Syamsurizal. Sepanjang perjalanan pulang ke Bandarlampung, kami membincangkan soal lukisan Syamsurizal.
Saya mengira usia pelukis ini lebih tua dari saya. Tetapi, karena ia menyebut saya “bung” maka sebutan itu pula saya peruntukkan padanya ketika menyapa.
Sepuluh tahun kemudian kira-kira, saya jumpa untuk kedua kali. Saat peluncuran dan bedah buku puisi Solihin Utjok di sebuah kafe di Metro tahun 2021. Tak hanya dengan Syamsurizal, saya juga berkenalan dengan Taufik Rinaldi, yang ternyata telah menerbitkan sebuah novel.
Kami mengobrol santai sebelum saya bergeser sebagai pembahas. Hujan deras. Kami terpisah. Apakah Syamsurizal masih setia sampai diskusi usai, atau undur diri.
Sejak pertemuan kedua, kami intens berhalo dan berkabar di inboks Facebook (FB), lalu kami saling tukar nomor WA. Makin intens persahabatan kami.
Apalagi, ia dengan sukarela memberikan lukisannya saat saya izin menggunakannya untuk sampul buku puisi. Ada dua lukisannya yang diizinkan ketika saya meminta. Yaitu lukisan untuk buku puisi Nuwo Badik, dari Percakapan dan Perjalanan dan buku puisi 75 Sajak karya Nanang R Supriyatin.
Dua lukisan Syamsurizal yang kini abadi bersama 75 Sajak dan Nuwo Badik. Ternyata hidup itu singkat, seni panjang.
Aku percaya bung orang baik. Kebaikan ini bekal melangkah lebih abadi.
Selamat jalan bung Syamsurizal. Di sana tiada lagi melukis, tapi semoga keindahan dapat bung nikmati setiap waktu. Kelak, aku pun menyusul; dan kifa mewarnai surga dengan lukisan dan membaca puisi.
Salam.