Oleh Isbedy Stiawan ZS
HUMANIS. Kata itu belakangan ini melaung dari sejumlah orang — pemimpin atau pejabat — sehingga menjadi trending topic.
Media turut menyosialisasikannya. Sampai ke telinga masyarakat luas, dan akhirnya kerap didengung-dengungkan.
“Humanislah. Hadapi rakyat dengan sikap manusiawi alias kemanusiaan,” kata seseorang.
“Kami manusia Pak. Mau makan, berinteraksi secara sosial dan kami punya hak hidup di sini. Jangan marah-marah begitu, kami ini biar rakyat kecil punya nilai diri!” kata rakyat.
Narasi serupa itu rasanya sering kita tonton dalam video singkat yang viral lalu jadi tayangan pemberitaan. Di kala PPKM mikro atau darurat.
Padahal, baik pejabat/petugas dan masyarakat sama-sama senasib dalam menghadapi dan menyikapi Covid 19 yang rasanya sangat paradoks dalam kehidupan kita setahun lebih ini.
Absurd?
Sebetulnya belum sampai absurditas apalagi menyebut masyarakat kita berpaham absurd (absurdisme).
Karena itu, paham absurditas dalam kehidupan manusia — khususnya Indonesia — belum dikenal akrab. Manusia Indonesia masih menganut etika (sopan santun), gotong royong, dan kemanusian yang beradab. Sebagai orang Timur, kita junjung rasa kebersamaan dan “senasib” dalam menerima persoalan.
Tradisi mendirikan kembali rumah di desa, misalnya, sebagai bentuk gotongroyong dan saling memikul berat bersama-sama, ringan sama-sama dijinjing.
Ini jelas cermin dari humanis atau humanisme.
Apa itu paham humanis?Dalam sebuah tulisan merdeka.co disebutkan bahwa humanis adalah sebutan bagi orang yang menganut humanisme. Humanis juga berarti penganut paham yang menganggap manusia sebagai objek terpenting.
Lalu menurut KBBI, humanis adalah orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan; pengabdi kepentingan sesama umat manusia.
Seorang humanis juga merupakan seseorang yang percaya bahwa cara terbaik untuk memahami realitas di sekitar kita adalah melalui pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dan akal. Bagi beberapa humanis, ini hanyalah kebenaran yang harus kita akui untuk mendapatkan pemahaman yang berarti tentang bagaimana dunia di sekitar kita bekerja.
Sikap humanis ini yang ditengarai hampir terpupus dalam kehidupan manusia modern. Boleh jadi, individualistis khususnya manusia kota dan urban, yang selalu merasa kesuksesan dan apa yang didapatnya karena perjuangan dan berjuang sendiri.
Hidup sehari-hari bersma teknologi modern, semisal eskalator hingga pada telepon genggam, makin “mengajarkan” umat tanpa perlu bantuan maupun membantu. Kita cukup hidup secara mandiri. Tembok pagar rumah yang ditinggikan, juga cermin bahwa yang di dalam tak perlu menatap yang di luar. Begitu sebaliknya, yang berada di luar merasa tidak perlu mengucap sapa kepada yang di dalam pagar.
Jadi, menarik tatkala istilah humanis dilaungkan belakangan ini. Di kala kita sama-sama menghadapi pandemi covid 19.
Imbauan ataupun pernyataan ini mulai kita akrabi, ketika sejumlah pejabat mengharap petugas di lapangan hendaknya melakukan pendekatan humanis dalam berhadapan dengan masyarakat.
Artinya, ketengahkan etika — sopan santun – dan jauhi emosi — saat mengatur dan menyarankan masyarakat dalam menjaga jarak dalam protokol kesehatan. Virus C19 yang kian “menggila” begitu cepat menular dan menghajar tubuh manusia.
Petugas di lapangan hanya menjalankan perintah atasan. Mereka juga pastinya cemas, khawatir akan penularan virus, dan tentu saja capek harus berada di lapangan berjam-jam dengan meninggalkan keluar yang juga berkecamuk kecemasan.
Demikian pula masyarakat. Ia harus mencari nafkah demi keluarga. Tapi harus menghadapi PPKM mikro/darurat, otomatis terhambat gerak kerjanya.
Sama-sama mengalami nasib yang sama. Hanya beda keberadaan. Satu petugas yang ditugaskan menertibkan, pihak lain merasa penertiban itu telah membatasi hidupnya.
Sedikit saja ada pemantik, emosi berkobar. Inilah yang terlihat. Untunglah paspampres saat dicegat menghadapi “emosi” petugas dengan sabar. Andai ia juga “ngotot” dan tersulut emosinya saat didesak ke mobil, alamat dua instutisi TNI-Pori akan baku hantam.
Oleh karena itu, kita apresiasi yang tinggi kepada paspampres. Dia begitu sabar, bahkan berulang ia meminta maaf.
Baru saja saya ditontonkan sikap humanis Sat Pol PP Bogor. Ia tenang dan seakan tiada beban, ketika menemui para pedagang K5. Ia meminta pedagang agar tetap mematuhi prokes, hanya melayani pembeli yang membawa pulang.
Di akhir, Sat Pol PP memberi bungkusan. Ia selalu ramah dan tersenyum. Yang didatangi lebih dari itu. Video itu viral. Kita menontonnya merasa sejuk.*