NASIONAL, PL— Karakter emosional Tri Rismaharini mendapat sorotan bahkan kecaman publik. Tak sedikit yang menilai buruk pernyataan bernada lantang dan bersifat mengancam Menteri Sosial. Karyono Wibowo pun berkomentar perihal peristiwa pada Selasa (13/7).
Menurutnya, mantan Wali Kota Surabaya yang ingin meningkatkan kinerja ASN tersebut memiliki plus minus. Sedangkan terkait kata Papua, lebih karena letak geografis provinsi tersebut berada jauh dari Pulau Jawa. Namun, Karyono menilai etika komunikasi semacam itu kurang etis, terlebih dilontarkan depan publik. Namun, jika dikaitkan rasisme, Karyono menganggap terlalu jauh jika pernyataan Risma dianggap menghina.
“Konteks pernyataan Menteri Sosial Tri Rismaharini penekanannya adalah masalah kinerja ASN yang dinilai lambat dan kurang peka terhadap situasi. Kegeraman muncul saat Risma mengunjungi Balai Wyataguna yaitu Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas yang terletak di Bandung itu, untuk melihat dapur umum dalam rangka mendukung program PPKM Darurat. Ia melihat dapur hanya dikerjakan dari tim Tagana dan petugas lainnya. Ia pun melihat ASN Kementerian Sosial hanya bekerja di dalam kantornya masing-masing. Pada saat itulah muncul pernyataan spontanitas yang bernada ancaman akan memindahkan ASN Kementerian Sosial yang tak cekatan saat membantu di dapur umum untuk dipindahkan ke Papua, kata Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) yang diterima Pantau Lampung melalui Whatss App, Rabu (15/7).
Lanjutnya, jika menyimak kronologi dan konteks pernyataan tersebut maka substansinya lebih pada peningkatan kedisiplinan dan kepekaan sosial ASN. Penekanannya lebih pada persoalan antara niat untuk memperbaiki kinerja ASN dengan karakter kepemimpinan Risma yang meledak-ledak dan emosional.
Menurut Mas Kar, begitu sapaan akrabnya, konteks pernyataan Risma, dipengaruhi karakter personal yang sensitif dan temperamental ketika melihat kondisi yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Meski begitu, dalam konteks etika komunikasi, pernyataan tersebut tetap kurang etis. Diksi tersebut semestinya tidak perlu disampaikan, apalagi secara terbuka.
“Pernyataan yang akan memindahkan ASN ke Papua bisa diartikan sebagai bentuk ancaman yang menakut-nakuti meskipun di balik itu tujuannya adalah untuk memotivasi ASN agar lebih baik kinerjanya,” ujar Karyono Wibowo.
Dia menjelaskan, pernyataan Risma tersebut dipengaruhi oleh anekdot yang sudah menjadi fenomena sosial. Selama ini memang ada kekhawatiran di kalangan ASN maupun pegawai swasta jika dipindah ke Papua. Kekhawatiran semacam itu tidak asing karena sudah lama menjadi perbincangan. Tapi, kata “Papua” dalam konteks ini bukan sebagai penghinaan rasialis.
“Konteks Papua lebih dipahami karena kondisi geografis yang jauh dan ekstrem. Selain itu, tidak dipungkiri, dalam persepsi publik. Dulu, Papua dipandang masih terbelakang. Terlalu jauh ketimpangannya dengan wilayah lain. ASN maupun pegawai swasta berharap jangan sampai ditugaskan ke Papua. Tapi, mungkin berbeda lagi persoalannya jika ada ASN maupun pegawai swasta asal Papua yang bekerja dan merantau ke daerah Jawa, Sumatera, Kalimantan atau daerah lain. Boleh jadi, mereka justru senang bila dipindahkan ke Papua karena kampung halamannya. Selai itu, dekat dengan keluarga. Namun, bisa juga sebagian lebih memilih di luar Papua,” ungkapnya.
Kembali pada perdebatan publik tentang diksi yang digunakan Risma yang mengatakan; “….saya bisa pindahkan kalian ke Papua”. Diksi ini memang sensitif untuk disalahartikan, apalagi yang menyampaikan adalah pejabat, tokoh politik, atau figur publik. Tak heran sejumlah pihak menyalahartikan guna tujuan tertentu. Bahkan, Veronica Koman dan sejumlah pihak menghubungkannya dengan rasisme, imbuh Mas Kar. Meskipun dalam hemat saya, mengaitkan pernyataan Risma dengan rasisme terlalu jauh, berlebihan dan diluar konteks (out of context).
“Tapi, memang di satu sisi, diksi yang digunakan Risma membuka celah untuk disalahpahami. Terlebih sangat mudah untuk dipolitisir,” kata pengamat politik yang memiliki tawa khas tersebut.
Terlepas dari itu, jika melihat rekam jejak kepemimpinan Tri Risma, memang memiliki karakter yang tegas meski sifatnya emosional dan gaya bicaranya meledak-ledak, kata Karyono Wibowo. Karakter kepemimpinan seperti ini bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan. Bisa menjadi kekuatan karena selain cepat populer, dapat membuat jera ASN dan para anak buahnya. Tapi, kelemahannya, bisa menimbulkan sentimen negatif dari sejumlah pihak.
“Jadi memang ada plus minusnya,” tutupnya.
(PL 03)