*Isbedy Stiawan ZS*
KETIKA Hirosima-Nagasaki luluhlantak dibom sekutu, Kaisar Jepang langsung turun dan mengumpulkan bawahannya. Ia tak bertanya lain-lain, kecuali “bagaimana nasib guru? Selamat?”
Itulah bedanya. Ketika Kaisar tahu para guru banyak yang selamat atas petaka dua kota itu, Jepang pun (bisa) bangkit.
Bagaimana di negara kita, Indonesia yang kaya alamnya dan luas wilayahnya? Mengurus guru saja, seperti setengah-tengah. Omar Bakri-Omar Bakri maupun Omarwati-Omarwati terus bertambah dengan nasib yang acap tak jelas!
Setiap ada bencana alam, alih-alih menanyakan nasib guru yang selamat, bisa jadi sang pemimpin datang terlambat ke tempat kejadian perkara (TKP).
Masih ingat tsunami Aceh? Siapa yang datang lalu berjibaku menolong rakyat yang terimbas bencana? Para relawan, baik anak negeri maupun dari luar negeri. Lalu banjir di Kalimantan Selatan, adakah penguasa negara yang mengucapkan belasungkawa lebih duluan?
Kini 1000-an guru tenaga honor di Bandar Lampung tak juntrung nasibnya. Mereka yang seharusnya menjadi guru tetap non-PNS yang digaji oleh Pemkot Bandar Lampung, nyatanya dipekerjakan selayaknya romusha.
Eva Dwiana, sang Walikota Bandarlampung, di manakah saat “sang anak-anaknya” menjerit ihwal upah dan nasib keluarganya?
Maka tak ada pilihan, mereka menjerit melalu media sosial seperti grup WA atau mendatangi para wakilnya di gedung Dewan. Barangkali mengadu ke anggota Dewan adalah jalan akhir yang mereka tempuh.
Eva, semoga mendengar kesedihan dan kepiluan para guru honorer itu. Seperti juga keluhan para pekerja di DLH baru lalu, akhirnya turun ke jalan di saat pemkot “menjamu pemimpin kota se Indonesia”.
Seharusnya turun ke jalan dari pekerja DLH tidak terjadi di kala ada tamu. Tetapi, kapan lagi kalau tak saat itu?
Soal perut, mamang rentan. Bukankah hadist berujar: janganlah memberi upah setelah keringat pekerjamu kering?
Kalau sekarang, harapan satu-satunya wakil rakyat di Dewan, aduan para guru itu jangan menjadi embusan angin. Atau hanya didengar lalu tak jelas tindak lanjutnya.
Duduk bersama: guru, dewan, walikota. Bicarakan setuntas-tuntasnya. Tentu pertemuan ketiga ornamen ini, jangan diwakilkan. Eva jangan memerintahkan kepala dinas atau wakil walikota atau sekda/asisten. Begitu pula dari dewan, tunjuklah yang benar-benar jelas keberpihakannya. Lalu dari guru, majukan guru yang benar-benar demi memerjuangkan nasib kaum guru.
Tak ada yang tak bisa, kalau mau serius. Kemajuan bangsa ini, salah satunya dari tangan guru. Saya meyakini, para guru kita masih punya rasa bahwa ia ditumpukan tugas untuk mencerdaskan anak bangsa.
Kita menjadi ini, karena asuhan para guru. Jasa guru tanpa tanda jasa itu, usah diperpanjang nasibnya serupa Omar Bakti-Omarwati.
Pada guru, kita serahkan seluruh anak-anak kita dididik dan diajari bagaimana mengetahui baca dan mengenal tambah-kurang-kali-bagi
Salam buat para guru…