Oleh Isbedy Stiawan ZS
BAYANGKAN, jika tuan dan puan baru ‘ngeh’ simpanan uang di dompet atau di rumah tidak ada lagi. Di rekening juga kosong. Ibarat kas terjadi kekosongan.
Kalau itu diamsalkan sebuah perusahaan, sedang pailit atau bahkan menjelang bangkrut. Tentu tuan dan puan kalang kabut.
Betul?
Ini terjadi di Kerajaan Anusila, yang konon, tanah-air-udaranya mengandung pundi-pundi uang. Kerajaan yang sumber daya alamnya makmur, rakyatnya semestinya kaya raya.
Ini kerajaan yang dulu ditampuk pimpinan dipegang oleh seorang raja. Lalu diteruskan permaisuri.
Tetapi, sejak jelang akhir dàri kepemimpinan sang Raja, keadaan ekonomi mulai failit. Pembangunan jor-joran, namun penyediaan anggaran minim. Upah untuk para abdi kerajaan, sebagian tersendat. Pembayaran kepada tenaga lepas, sulit dilunasi.
Kas kerajaan kosong. Upeti akan pajak dari pengusaha melompong. Banyak pengusaha — khususnya usaha kuliner dan penginapan — nunggak. Alias tidak membayar pajak.
Aneh! Apa kerja para pemungut pajak selama ini? Mosok bertahun-tahun kas kerajaan yang diperoleh dari pajak tidak pernah diterima. Memangnya petugas penarik upeti tidur? Atau, jangan-jangan (bisa jadi!) melakukan kongkalikong kodok bangkong dengan pemilik usaha.
Mereka menyetor tapi tak sesuai dengan nominal pajak yang harus dibayar, lalu dikasih ke petugas. Sebagai tutup mata bin tutup mulut.
Permaisuri yang kini jadi Ratu di Kerajaan Anusila, jadi berang. Kerajaan tak boleh ambruk oleh sebab kas kosong. Para abdi dan pegawai lepas mesti dibayar. Pembangunan harus berjalan. Kesejahteraan rakyat harus dipikirkan. Pendidikan dan kesehatan yang janji Ratu adalah gratis, harus tetap nol biaya.
Tapi dari mana dana itu? Pikir sang Ratu. Otaknya muter. Mengajukan utang lagi, wah kalau semakin menumpuk kelak membayarnya sampai kapan dan dengan apa?
Menggandeng rekanan, apa masih bisa dipercaya? Kontraktor tak mau rugi. Jalan layang warisan sang Raja, adalah kisah masa lalu yang kabarnya pernah tersendat pelunasannya. Jalan layang bukan jalan tol yang bisa membuka masukan anggaran. Karena jalan layang dan anderpass gratis.
Usut punya usut — jelas ini sudah melalui pasang kuping dan penciuman ke mana-mana hingga diskusi dengan mantan sang Raja!
Ahai! Ternyata salah satu bikin kas kosong ialah mangkirnya sejumlah penguasa membayar pajak ke kerajaan!
Dihitung-hitung ternyata beberapa tahun mereka tak bayar. Dan cukup banyak pengusaha melalukannya. Seperti berjamaah tak bayar upeti.
Berani-beraninya para pengusaha itu. Padahal jelas, tanah-air-udara adalah milik kerajaan. Rakyat “mengontrak” dan harus bayar kontrakannya. Sang Ratu bergumam.
“Tagih para pengusaha itu. Kalau tidak dilunasi pajaknya, langsung segel. Jangan kasih ampun!” perintah sang Ratu kepada petugas upeti.
Memangnya kerajaan ini punya nenekmoyangnya, bisa hidup gratis, bisa berusaha dan mencari untung dari usahanya tanpa mebayar pajak kepada kerajaan? Sang Ratu kembali berujar.
Para petugas pajak menciut. Bagai tikus-tikus yang tersiram air atau dijebak oleh lem tikus.
Segera mereka menuju konter-konter usaha saji cepat. Sebagian ke penginapan-penginapan. Lainnya, sibuk menutup/melenyapkan surat-surat pajak yang tertunggak.
Tapi, sampai kapan Kerajaan Anusila bisa bertahan dengan kas kosong? Sampai kapan bisa hidup di detik-detik kerajaan nyaris bangkrut karena anggaran minus. Pembangunan bakal mangkrak. Roda pedati kerajaan berkarat sehingga sulit berputar?
Euporia ternyata tidak begitu penting lagi. Yang dibutuhkan adalah banting tulang, kaki menjadi kepala dan kepala jangan sampai di isi dengkul!
Wallahualambissawab…