PANTAU LAMPUNG— Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui masih menggunakan standar lama dalam mengukur angka kemiskinan ekstrem, yang berakibat pada penurunan angka kemiskinan selama era Presiden Joko Widodo.
Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, mengungkapkan bahwa BPS masih mengandalkan standar kemiskinan ekstrem yang ditetapkan World Bank pada angka US$1,9 per kapita per hari. Standar ini belum diperbarui meskipun World Bank telah mengadopsi angka baru sebesar US$3,2 per kapita per hari sejak 2022, berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) 2017, menggantikan PPP 2011.
Amalia menjelaskan bahwa penggunaan standar lama bertujuan untuk menjaga konsistensi perbandingan historis angka kemiskinan ekstrem. “Kami masih menggunakan angka US$1,9 untuk menjaga perbandingan historis yang konsisten,” ujarnya.
Namun, Amalia mengakui bahwa saat ini BPS belum memiliki rencana untuk mengubah metodologi pengukuran kemiskinan sesuai standar baru World Bank. “Ini masih dalam proses. Belum ada keputusan untuk mengadopsi metodologi baru,” tambahnya.
Dengan menggunakan standar lama, BPS melaporkan bahwa angka kemiskinan ekstrem di Indonesia pada Maret 2024 tercatat hanya 0,83 persen dari total penduduk, turun dari 1,12 persen pada Maret 2023.
Wakil Ketua Komisi XI DPR, Dolfie Othniel Frederic Palit, menyoroti masalah ini, menyebutkan bahwa metodologi yang digunakan dapat menghasilkan data yang menyesatkan. “Dengan standar rendah ini, mungkin saja kelas menengah atau atas sebenarnya termasuk dalam kategori bawah,” katanya.
Sri Mulyani, Menteri Keuangan, juga mencatat perbedaan signifikan dalam ukuran kemiskinan. Pada 2023, Bank Dunia mengukur kemiskinan ekstrem menggunakan PPP sebesar US$3,1, yang menunjukkan angka kemiskinan ekstrem mencapai 40 persen. “Seperti yang dikatakan Ibu Satu Kahkonen dari World Bank, jika Anda menggunakan garis kemiskinan yang lebih tinggi seperti US$3, maka angka kemiskinan ekstrem akan terlihat jauh lebih tinggi,” ungkap Sri Mulyani dalam acara World Bank’s Indonesia Poverty Assessment.