PANTAU LAMPUNG— Pilkada Serentak 2024 menjadi momen krusial bagi pemerintahan baru yang dipimpin Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, serta mengindikasikan peran aktif Presiden Joko Widodo dalam kontestasi politik tersebut.
Pilkada pada 27 November mendatang akan memilih 37 gubernur, 93 wali kota, dan 415 bupati serta wakilnya. Hasil dari pemilihan ini sangat penting karena dapat membentuk lanskap politik dan mempengaruhi arah kemajuan negara dalam lima tahun ke depan.
Setiap partai politik berambisi untuk memenangkan calon mereka, berharap hasilnya dapat menjadi pijakan untuk kesuksesan mereka dalam pemilihan presiden dan legislatif tahun 2029. Bagi pemerintahan baru yang akan datang, hasil Pilkada ini juga akan menentukan dinamika hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintahan baru tentunya menginginkan pemimpin di daerah yang dapat mendukung pelaksanaan program-program mereka.
Selain itu, pengamat politik melihat bahwa Presiden Jokowi tampaknya masih ingin berpengaruh dalam pemilihan lokal, mirip dengan keterlibatannya dalam pemilihan presiden sebelumnya. “Langkah ini mungkin merupakan usaha Jokowi untuk mempertahankan pengaruhnya bahkan setelah masa jabatannya berakhir pada bulan Oktober,” ungkap Titi Anggraini dari Perludem.
Koalisi besar KIM, yang sebelumnya mendukung Prabowo dan Gibran dalam pemilihan presiden Februari lalu, terdiri dari partai-partai besar seperti Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PAN. Dalam beberapa minggu terakhir, Nasdem, PKB, dan PKS bergabung dengan koalisi ini, membentuk KIM Plus. Menurut Titi, Jokowi berupaya mereplikasi model KIM Plus dalam Pilkada dengan memengaruhi berbagai partai politik.
Dominasi dan pengaruh Jokowi yang masih signifikan dalam pemerintahan menjadi salah satu sorotan utama dalam Pilkada Serentak ini. “Kontroversi muncul terkait upaya menduplikasi dan mereplikasi KIM dalam Pilkada,” jelas Titi.
Pertarungan politik di Pilkada kali ini akan menjadi ujian bagi kekuatan koalisi besar pendukung Jokowi, KIM Plus, versus koalisi yang dibentuk PDIP. Sri Hastjarjo, pengamat komunikasi politik dari Universitas Sebelas Maret Solo, menilai bahwa Pilkada ini akan menjadi head-to-head antara koalisi pendukung Jokowi dan koalisi PDIP. “Putusan MK membuka jalan bagi PDIP dan partai non-parlemen untuk mengusung calon, menjadikannya ujian bagi Koalisi Indonesia Maju untuk melihat apakah ada perpecahan atau pembentukan koalisi baru,” tutup Sri Hastjarjo.
Pilkada ini juga merupakan momen pembuktian bagi PDIP, yang memenangkan Pemilu Legislatif di beberapa daerah, termasuk Jawa Tengah yang dikenal sebagai “kandang banteng,” apakah mereka mampu mempertahankan dominasi suara di Pilkada kali ini.