Rintik hujan bernyanyi di sore muram, seakan sepi di keheningan hutan. Kuakui, ini bukan pertama mendengar kinanti sedih di antara hitamnya belukar. Tapi dulu aku berkasih. Angin ribut yang suaranya mengalahkan derit roda pengangkut batu bara pun tak sanggup mengusik tenangku. Kekasihku paling bisa membuatku tersenyum meski kadang perasaannya sebagaimana tanaman didera kemarau panjang. Orang yang paling kusayang selalu datang dari arah belakang lalu menutup kedua mataku seraya bertanya tentang kepada perempuan mana cintaku tertuju—itu terjadi ketika aku melamunkan berbagai pelik.
Gerimis belum juga merinai sedangkan tanah telah tergenang. Mata hatiku mencari yang tercantik di pucuk bunga asoka dan pada segarnya warna buah belimbing mungil bermandi hujan.
Kureguk kopi yang hangatnya mulai menyerah, kunyalakan rokok terakhir sekadar meredakan sesak percintaan. Tapi awan hitam masih juga selaik nenek yang membenci cucunya dan kilat seolah ingin membelah kepala.
Petuah mengatakan, cinta lebih indah dari pada taman. Pabila taman memberi kita riang dengan segala kecerahannya maka rasa dari yang bentuknya seperti dataran bulan itu sanggup membuat kita tersenyum sendiri di kamar mandi atau di depan cermin yang agak retak.
Pujangga juga menjelaskan, cinta adalah vodka atau ganja yang candunya begitu nikmat karena sanggup membuat kita seolah tanpa prahara. Tapi lama kelamaan akan membuat kita tak berdaya di tengah kemajuan dunia.
Kureguk lagi kopi yang hangatnya benar-benar kalah. Bintang atau bulan tak akan datang. Sudah tiba waktuku
2021