Oleh Isbedy Stiawan ZS
ada yang datang
antar keriangan
ada yang hilang
membawa kenangan
ENTAH mengapa beberapa hari belakangan ini, saya dikejutkan oleh kabar dukacita: kawan atau orang yang pernah saya tahu namanya, telah mendahului. Ia mengembuskan napas karena covid 19. Ada yang tengah menjalani perawatan di rumah sakit, atau diakui “tiba-tiba” atau begitu cepat.
Kematian memang sangat dekat. Akhir-akhir ini. Lebih dekat dari kata-kata yang terucap: maut atau kematian.
Setiap yang bernyawa pasti mengalami kematian. Itu keniscayaan. Tetapi, kematian di tengah amuk pandemi, hal yang sangat memrihatinkan!
Kecemasan setahun ini — 2020-2021 — amat merasuki kehidupan kita di hampir seluruh muka bumi. Setiap waktu berjatuhan menemui ajal. Oleh pandemi Covid 19.
Kalau membanding-banding dan menyanding-samakan dengan kisah novel “Sampar” Albert Camus, rasa-rasanya tak bisa. Itu novel adalah sebuah karya fiksi, walau boleh jadi tercipta dari fakta-fakta yang terjadi kala Camus menulisnya. Novel itu juga disebut mengulik absurditas ke(manusia)an.
Tetapi, kematian tak bisa ditarik menjadi absurd? Kematian diselumiti misteri, rahasia, kerahasiaan. Hanya Tuhan yang mengetahui pastinya kapan seseorang dipanggil dan penyebabnya.
Di mata dan pikiran manusia, kematian adalah misteri. Absurd.
Kalau pandemi dianggap salah satu yang berperan bagi kematian seseorang di kala Covid 19, itu cara Tuhan untuk mewujudkan rencana-Nya.
Satu-satu rekan, keluarga kawan, dan orang-orang yang kutahu nama dan pribadinya, dipanggil Sang Kuasa: Allah Swt. Tuhan pencipta alam dan makhluk hidup.
Bandar Lampung, salah satu daerah (juga Pringsewu dan Metro) di Provinsi Lampung yang ditetapkan berzona merah. Mulai 6 Juli malam diberlalukan PPKM mikro, dan lima titik pintu masuk ke kota ini disekat/ditutup.
Tentu apa yang dilakukan pemerintah setempat, guna memutus rantai penyebaran virus covid yang ditengarai makin ganas.
Kita benar-benar cemas. Warga dibuat semakin takut. Boleh jadi jam malam pun (akan) diberlakukan sebagai konsekuensi.
PPKM semirip lockdown. Tetapi, pemerintah lebih suka menggunakan frase PPKM ketimbang “mencomot” bahasa Inggris. Hanya saja, akibat dari pemberlakuan itu sama saja dirasakan masyarakat.
Jam buka dibatasi, jam malam diketatkan. Dilarang beraktivitas di keramaian, dilarang kerumun. Dan otomatis dilarang berniaga pada jam-jam yang diberlakukan!
Sampai di sini, warga mendapat tambahan “kecemasan”. Satu sisi aktivitasnya diPPMK-kan, sisi lain lagi ia harus mencari nafkah untuk hidup keluarganya.
Oleh sebab itu, alangkah elok jika pemerintah berpikir soal nasib warga selama PPKM mikro. Cerita pedagang di Tanah Abang yang “melawan” petugas saat dirazia, adalah bukti kecemasan itu. Kata pedagang itu, “kami akan menghidupi keluarga, kecuali ada bantuan dari pemerintah.” Sampai pedagang tersebut “digelandang” petugas ketertiban dari pasar itu dengan diembeli “provokator”! Alamak.
Sebait puisi yang saya sertakan di pembuka, bentuk kecemasan saya. Itu suara kalbu melihat, mendengar, dan serupa itu, dari situasi akhir-akhir ini. Ihwal makin “buasnya” covid 19 mengancam umat.
Menjaga jarak, hati-hati dalam pergaulan, selalu mencuci tangan, bermasker, serta hindari ke luar selagi tidak penting mesti makin dilakukan dan diketatkan lagi.
Hanya, kita tak bisa menduga hadirnya virus dan mengendap di tubuh kita, dari mana. Keluarga sendirikah. Teman karibkah. Dan lain-lainkah.
Pada akhirnya, kita meminta dan mendesak pemerintah serius memutus rantai covid. Mungkin covid tak secepat dipikirkan akan hilang sehilang-hilangnya. Tetapi, perilaku bersih, jaga jarak, lindungi tubuh dengan masker, serta tiada “zalim” pada diri dan orang lain, semoga ini salah satu terapi kita.
Riang-riang masih diperlukan. Sebab dengan begitu tubuh jadi kuat dan imun. Namun, berdukalah bagi kawan, tetangga, keluarga kita dan atau keluarga dari rekan yang meninggal dunia sebab covid.
Saya tutup teras ini dengan satu puisi saya lagi (saya tulis, Rabu 7 Juli 2021 siang).
MENGAKRABAKRABKAN KEMATIAN
siang ini
aku duduk di antara nisan
di taman indah bagi yang
sudah tiada. ini tanah terakhir
juga gerbang menuju abadi
seperti pintu bagi suatu kota
untuk datang dan pergi
— aku belum pergi
tapi sedang menanti —
siang yang lain
aku wirid dan berenang
di laut lepas halaman quran
kubacabaca ihwal kematian
yang begitu karib dengan
suaraku. lebih akrab daripada
urat di napasku; Tuhan!
siang esok
mungkin aku tak lagi cuma duduk
tapi ditandu dan direbahkan di makam ini
sebagai tubuh, tak lagi menumbuh
sebagai denyut, tidak punya detak
barangkali
Inna lillahi wainna ilaihi roojiun. Sebagai duka cita pada Dedy Mawardi, aktifis Pro Demokarasi dan mantan Ketua LBH Lampung. Selamat jalan dan semoga husnul khotimah.