Taufik Ikram Jamil — sering kerabatnya menyingkat TIJ — selain sastrawan Riau, juga (mantan) wartawan Kompas di Riau.
Saat belia sebagai wartawan, Sutardji Calzoum (SCB) jadi “santapan” wawancara ataupun jadi bahan sumber bagi berita kesastraan Indonesia, setiap Presiden Penyair Indonesia itu ke tanah kelahirannya, Riau.
Dari kedekatan dan “kekaguman” TIJ itu pada SCB, pada 2021 jadilah bukua kesaksian ini. Berikut kisah bahagia dan kecemasan TIJ menyelesaikan buku Biografi Kesaksian SCB.
KETIKA buku “Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri, Biografi Kesaksian” mulai dikirim ke pemesan, Jumat (18/06) oleh admin, Adriansyah, barulah saya yakin bahwa benda tersebut sudah wujud, alhamdulillah.
Sudah bertahun-tahun konsep dasarnya siap, tetapi terkendala terbit sampai saya hampir tak punya harapan untuk itu.
Pasalnya, subjek buku itu sendiri yakni Sutardji Calzoum Bachri (SCB), tak begitu suka dibuatkan biografi. Lebih dari tiga tahun naskah tersebut di tangannya agar ia koreksi–mana tahu ada yg sensitif. Mungkin tak dibacanya walaupun ia mengaku buku itu mendalam dari seorang pembaca lain, ia belum memberi aba-aba terbit. Meski penyelia Rida K Liamsi mengatakan bahwa saya boleh saja menerbitkan tanpa aba-aba tersebut, saya tetap menunggunya.
Sampailah satu hari, Januari 2021, SCB mengirimkan buku kumpulan puisinya “Petiklah Aku”, yang disusun H.M. Nasruddin Ansoryi, Yogyakarta, kepada saya. Langsung saya telepon SCB dengan menyebutkan, tak bisa tidak, biografi tersebut harus saya terbitkan tahun ini.
Pikiran saya sederhana saja, sebab buku Gus Nas yg lebih dulu tertahan, sudah bisa terbit tahun 2020, tentu kini giliran buku saya tahun 2021 kan?
Di luar dugaan saya, SCB tak banyak komentar, sehingga saya kembali menggarapnya karena adanya data baru yang tidak sederhana semisal adanya kredo baru. Belum selesai, pertengahan Mei, SCB kembali menyebutkan tak sedap hati kalau menceritakan diri antara lain ada saja yang tak terkatakan. Tapi saya katakan bahwa hal itu justru menunjukkan kreativitasnya terus subur.
Saya sendiri, juga tidak puas dengan buku itu. Bukan apa-apa, karena selain kelemahan saya, juga begitu luas dan dalamnya kreativitas SCB. Tetapi mundur tidak mungkin, sebab bagaimanapun, saya harus membuat tanda alias berhenti sejenak agar bisa kembali mulai. Dengan demikian, buku ini bukan sesuatu yang final, tapi memungkinkan lagi ditulis dan ditulis–bukan harus oleh saya, mungkin oleh orang lain. Dia mungkin tak penting bagi SCB, tapi insyaAllah bermakna bagi yang peduli kepada proses–tidak hanya hasil.
Dalam keadaan begitulah, info dari Gus Nas di Imogiri Yogya, membuat saya makin semangat. Dia mengatakan akan melayani kreativitas SCB sampai darah terakhir. Pernyataan ini mengiringi permintaan SCB mengubah judul “Petiklah Aku” menjadi “Kecuali”, padahal buku dengan judul pertama sudah disosialisasikan dan sempat wujud sebagai buku walau terbatas. Sementara saya, tidak harus berbuat apa-apa sesuai dengan keinginan SCB–hanya menunggu aba-aba. Salut kepada Gus Nas.
Maka terimalah buku ini untuk kita mengawali buku lain dengan atau tanpa subjek serupa.
(PL 02/PL 03)