PANTAU LAMPUNG– Empat pelukis Semarang Mona Palma, Moses Foresto, Tan Markaban dan Darma Lungit bersekutu menggelar pameran bersama. Pameran lukisan yang mengusung tajuk : “Beyong Language” ditaja di De Warisan Art & Curio Gallery, Kota Lama, Semarang. Pembukaan pameran lukisan yang kab berlangsung hingga 03 Desember 2023 berlangsung meriah.
Pameran yang dipengantari Dr. Mikke Sussanto, MA ini memajang puluhan lukisan karya Mona Palma, Moses Foresto, Tan Markaban dan Darma Lungit ini dibuka Prof. TjeTjep Rohendi, Minggu 19 November 2023.
Setelah memperkenalkan pelukis Moses Foresto, Tan Markaban dan Darma Lungit yang pameran bersama, Mona Palma mewakili kawan-kawannya dalam sambutannya mengatakan, sangat mengapresiasi kesedian Mikke Susanto yang telah membuat tulisan untuk mengantar bergulirnya pameran ini.
Lebih lanjut, Mona Palma, mengisahkan, sekira sebulan lalu bersama tiga pelukis lainnya mengundang Mikke Susanto ke Semarang. Tujuannya untuk membantu persiapan, mengarahkan sekaligus membuat pengantar pameran.
“Kami bersama ngobrol ngalor-ngidul, semacam curhat kepada mas Mikke yang menjadi ancangan pameran ini. Ternyata dari obrolan itu menjadi sebuah tulisan yang menarik menjadi pengantar pameran sore ini. Ini di luar ekspektasi kami, terutama saya, dari obrolan apa adanya di tangan Mas Mikke menjadi sesuatu yang indah dan berisi yang membuat kami bersemangat serta optimis,” ujar Mona Palma mewakili pelukis lainnya.
Untuk mengungkapkan kegembiraannya yang membuncah Mona Palma Palma pada kesempatan itu juga menembangkan sebuah lagu berjudul :” Edelweis” yang juga jadi salah satu tajuk lukisannya yang ditaja dalam pameran ini.
“Mengapa saat ini saya ingin bernyanyi tentang Edelweis. Karena keindahan bunga Edelweis inilah yang membuat saya pertama kali terperangkap mencintai dunia seni rupa,” ujar Mona Palma bersenandung syahdu sembari jemarinya memetik gitar dengan merdu.
Dr. Mike Susanto menyampaikan bahwa pameran sebagai sebuah proses sangat penting bagi seorang pelukis. Selain menjadi penanda eksistensi juga menjadi sarana silaturahmi dan berbagi. Pameran semacam ini menjadi tradisi yang sangat baik.
“Mungkin bagi teman-teman yang pernah keliling dunia ke luar negeri ke beberapa negara terutama di Eropa atau di Asia yang maju dunia seni rupanya. Pembukaan pameran ini lebih ramai di tempat kita. ini termasuk ramai kalau di sana yang hadir dalam pembukaan pameran paling sekitar sepuluh atau duapuluh orang tetapi semuanya yang hadir kolektor sih. Tetapi ini juga kolektor tetapi kolektor visual,” ujar Mikke berseloroh.
Lebih lanjut, Mikke, mengatakan, besok momen ini berharga sekali karena teman-teman menjadi saksi para perupa ini berproses.
“Pembukaan pameran atau pameran itu sangat tinggi nilainya seperti halnya yag saya tulis dalam buku “Mengapa Lukisan Itu Mahal”. Momen pameran ini sangat penting menjadi arsip hidup bagi para seniman untuk menaikkan citra sekaligus harga lukisannya di masa mendatang,” tandas Dosen Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini.
Menurut Mikke Susanto dalam pengantar tertulisnya yang bertajuk : “Kedirian dan Beyond Language,” komunikasi dan cara berbahasa rupa-lah yangmenjadi pengikat mereka dalam tema ini. Pameran ini brtujuan ingin mengungkap ide dan membahasakannya agar menjadi pengalaman bersama.
Lukisan yang mereka sajikan adalah tuturan tentang kehendak, pikiran,imajinasi, sekaligus harapan yang diekspresikan. “Bahasa” sering diindentikkan dengan kemampuan mengomposisikan berbagai elemen di dalamnya.
“Warna, garis, tekstur atau berbagai teknik pencampuran atasnya membentuk narasi adalah beberapa diantaranya, selain gaya, aliran atau nilai-nilai eksternal pada sebuah karya. Saya menangkap ada kesamaan dan kebedaan di dalamnya,” beber Mikke.
Sementara itu Prof. Tjetjep Rohendi, guru besar Universitas Negeri Semarang, sebelum mebuka pameran mengatakan, sewaktu pertama kali masuk Kota Semarang pada tahun 1978 melihat di Semarang menurut pengamatannya, hanya ada satu corak lukisan seperti yang melekat hingga kini.
“Perkembangan duni seni lukis di Semarang tidak seperti di Bandung, Jakarta atau Yogyakarta. Jadi dulu di Semarang pelukis melukis seperti siapa. Tidak seperti sekarang sudah bebas dan bertumbuhkembang seperti di kota lainnya. Saya berharap pameran ini bisa memantik para pelukis lainnya juga untuk berpameran sehingga dunia seni rupa Semarang juga bertumbuhkembang dan melaju,” ujar Prof Tjetjep juga perupa yang kerap berpameran.
(*)