JAKARTA, PL– Rencana perekrutan 57 orang eks pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) menjadi aparatur sipil negara (ASN) di Polri harus dibatalkan. Sebab, rekrutmen tersebut tidak sesuai dengan aturan yang terdapat di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Hal itu disampaikan pengamat politik Karyono Wibowo kepada wartawan, Rabu (17/11/2021). “Rekrutmen 57 orang eks pegawai KPK harus dibatalkan, karena tidak sesuai UU ASN,” kata Karyono.
Karyono membeberkan Pasal 62 ayat 2 UU ASN menyebut, “Penyelenggaraan seleksi pengadaan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 3 (tiga) tahap, meliputi seleksi administrasi, seleksi kompetensi dasar, dan seleksi kompetensi bidang”. Kompetensi dasar yang dimaksud salah satunya terkait wawasan kebangsaan.
Sementara, Pasal 63 ayat 1 menyatakan, “peserta yang lolos seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 diangkat menjadi calon PNS”. Artinya, menurut Karyono, 57 eks pegawai KPK dapat diangkat menjadi CPNS jika lolos seleksi kompetensi dasar, salah satunya TWK. Faktanya, para mantan pegawai itu tidak lolos. Karenanya, tidak dapat diangkat menjadi ASN di lingkungan KPK dan diberhentikan secara hormat tidak atas permintaan sendiri.
Ketentuan hukum lainnya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 pada Pasal 23 ayat 1 huruf a yang menyatakan batas usia paling tinggi pada saat melamar menjadi ASN adalah 35 tahun. Karyono menyatakan banyak dari 57 eks pegawai KPK tersebut yang sudah berusia di atas 35 tahun.
“Beberapa orang dari 57 eks pegawai KPK tersebut merupakan mantan anggota Polri yang diberhentikan dari institusi Polri. Selain itu, ke-57 orang tersebut juga sudah diberhentikan secara hormat dari KPK, karena tidak lolos asesmen TWK, sehingga tidak bisa dialihkan menjadi ASN di lingkungan KPK,” ujar Karyono.
“Oleh karena itu, mereka sudah tidak memenuhi syarat untuk melamar menjadi PNS di kementerian/lembaga manapun sesuai PP 11/2017 Pasal 23 ayat 1 huruf c, karena pernah diberhentikan baik sebagai anggota Polri maupun secara keseluruhan (57 orang) sebagai pegawai KPK,” imbuh Karyono.
Lebih lanjut, Karyono menyampaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XIX/2021 telah menyatakan proses alih status pegawai KPK yang menggunakan metode TWK sesuai dengan UUD 1945. Kemudian, melibatkan pihak yang kompeten dan tidak diskriminatif sebagaimana yang dituduhkan oleh beberapa pihak.
“MK menyatakan bahwa Pasal 69B ayat 1 dan Pasal 69C UU 19/2019 tentang KPK berlaku bagi seluruh pegawai KPK bukan hanya untuk pegawai KPK yang tidak lolos TWK, sehingga adanya 57 orang pegawai KPK yang tidak lolos TWK merupakan fakta,” kata Karyono.
Karyono mengungkapkan ada juga keputusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 26 P/HUM/2021 yang menolak gugatan uji materiil terhadap Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2021 yang memuat tentang TWK menyatakan TWK merupakan persyaratan formal yang dituangkan dalam regulasi kelembagaan. Tujuannya untuk memperoleh output materiil, yaitu pegawai KPK yang setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, dan NKRI, serta pemerintah yang sah.
“57 eks pegawai KPK tidak dapat diangkat menjadi ASN bukan karena berlakunya Perkom Nomor 1 Tahun 2021, tetapi karena hasil asesmen TWK mereka sendiri yang tidak memenuhi syarat,” kata Karyono.
Berdasarkan Putusan MK dan MA tersebut, Karyono menegaskan pelaksanaan TWK sesuai Perkom KPK 1/2021 sebagai syarat pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN adalah konstitusional. Selain itu juga tidak diskriminatif, karena berlaku bagi seluruh pegawai KPK. Selanjutnya, tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan begitu, hasil TWK yang membuat 57 pegawai KPK tidak dapat diangkat menjadi ASN dan harus diberhentikan dengan hormat adalah sah secara hukum.
Oleh karena itu, Karyono mengingatkan jika Polri masih melanjutkan perekrutan 57 eks pegawai KPK tersebut menjadi ASN, maka berpotensi melanggar UU ASN, PP 11/2017, putusan MK dan MA yang telah berkekuatan tetap.
“Selain itu, perekrutan tersebut akan menimbulkan standar ganda dalam penerimaan ASN karena masih terdapat ratusan ribu guru honorer, tenaga kesehatan, lulusan pendidikan profesi guru (PPG) yang tidak bisa mendapatkan status sebagai ASN karena gagal dalam seleksi, baik itu seleksi kompetensi dasar ataupun seleksi kompetensi bidang,” demikian Karyono.
(*)