BANDAR LAMPUNG, PL— Karyono Wibowo menyambut positif kritik Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) terhadap Jokowi. Menurutnya, hal itu dapat dikatakan sebagai langkah positif asalkan disertai solusi guna mengatasi permasalahan, Senin (28/6).
“Kritik terhadap negara yang menganut sistem demokrasi, sah-sah saja. Tidak terkecuali yang ditujukan kepada Presiden,” ujarnya, Minggu (27/6).
Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) tersebut mempunyai pandangan tambahan. Menurutnya, di sisi lain mesti memerhatikan etika penyampaian kritik.
“Kritiknya harus konstruktif, harus memberikan solusi bukan mencaci maki. Kultur ini harus dibangun. Dalam demokrasi, orang bebas bicara. Bahkan, kritik siapa pun termasuk Presiden,” tambahnya.
Mas Kar— sapaan akrabnya, menambahkan, kritik bersamaan solusi cukup penting guna memperbaiki kebijakan yang perlu diubah oleh pemerintah. Dia pun menyebut, BEM UI mesti juga mengutarakan kritik secara konsepsional. Membangun paradigma baru yang tetap kritis tapi konstruktif, imbuhnya.
“Kritisnya tetap enggak boleh hilang. Tugas mahasiswa sebagai agent of change harus melakukan evaluasi. Kritik terhadap kebijakan, terutama kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat,” terangnya.
Menelisik ke belakang soal pernyataan Karyono Wibowo di atas, terpantau dari akun @BEMUI_Official, organisasi kampus tersebut secara terbuka menyebut Presiden Jokowi sebagai the king of lip service.
Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra menyebut pernyataan itu upaya mengkritik pemerintah. “Itu bentuk kritis kami. Jadi, itu dibuat oleh brigade (organ taktis) di bawah naungan BEM UI. Itu.”
Menurut Leon, itu bentuk kritik lantaran selama ini banyak pernyataan Presiden yang tidak sesuai realita pelaksanaannya. Contoh dari itu, soal revesi UU ITE saja. Kata dia, Jokowi sempat mewacanakan beleid itu. Namun, ternyata pemerintah hanya mengeluarkan pedoman undang-undang yang ditambah pasal baru.
Tambah lagi, menilai kebijakan Jokowi terhadap demonstran, Presiden sempat menyatakan kerinduannya untuk didemo saat awal-awal memimpin Indonesia. Tapi, tindakan kekerasan justru terpaksa diterima kawan-kawan mahasiswa saat unjuk rasa, imbuh Leon lebih lanjut.
“Pada 1 Mei mahasiswa UI yang hampir 30 orang ditangkap, dipukuli dan diseret oleh Polisi. 3 Mei juga salah satu mahasiswa UI menjadi tersangka saat jalan pulang dari aksi,” kata Leon.
Selain itu, Leon pun menyinggung tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Meski Presiden meminta TWK tidak merugikan pegawai, KPK tetap menonaktifkan 75 orang pegawai komisi antirasuah.
“Ini kami menyampaikan kritik, seharusnya Presiden Jokowi tegas terhadap pernyataannya. Jangan hanya kemudian menyampaikan pendapat tapi realitanya tidak sesuai,” tuturnya.
(PL 03)