PANTAU LAMPUNG— Adanya calon tunggal dalam Pilkada Serentak berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap partai politik (parpol). Menurut Titi Anggraini, pengajar Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, partai politik seharusnya memanfaatkan kesempatan untuk menominasikan calon kepala daerah dan menjalankan fungsi kaderisasi secara optimal.
“Partai politik memiliki peran penting dalam kaderisasi dan rekrutmen politik, yang merupakan bagian dari instrumen demokrasi. Namun, jika tidak dimanfaatkan dengan baik, masyarakat bisa semakin kehilangan kepercayaan atau bahkan menjadi apolitis,” jelas Titi.
Dia juga menambahkan bahwa calon tunggal dapat menyebabkan sikap apatis di kalangan masyarakat karena mereka merasa tidak memiliki pilihan yang memadai untuk menjalankan praktik demokrasi secara efektif. “Ketika masyarakat merasa tidak ada kompetisi dalam pilkada, mereka mungkin menjadi apatis dan enggan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) atau berpartisipasi dalam proses politik,” ujar Titi.
Meski demikian, Titi mencatat bahwa di komunitas yang lebih dinamis, calon tunggal dapat memicu respons politik yang aktif, seperti dukungan terhadap kotak kosong sebagai bentuk perlawanan. “Sebagai contoh, di Kota Pangkalpinang, masyarakat mengajukan pendaftaran kotak kosong ke KPU sebagai bentuk protes terhadap calon tunggal,” ungkapnya.
Menurut data terbaru dari KPU, terdapat 43 daerah yang berpotensi memiliki calon tunggal. Daerah-daerah tersebut meliputi satu provinsi di Papua Barat, lima kota, dan 37 kabupaten. Beberapa kabupaten yang berpotensi menjadi daerah dengan calon tunggal adalah Kabupaten Aceh Utara, Aceh Tamiang, Tapanuli Tengah, Asahan, dan Pakpak Bharat, serta banyak lainnya seperti Kabupaten Lampung Barat, Bangka, dan Trenggalek.
Sedangkan, kota-kota yang berpotensi memiliki calon tunggal antara lain Kota Pangkalpinang, Pasuruan, Surabaya, Samarinda, dan Tarakan.