PANTAU LAMPUNG— Pembatalan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (RUU Pilkada) menjadi sorotan utama, menyusul gelombang demonstrasi yang mengguncang sejumlah daerah. Wakil Ketua DPR, Dasco, menegaskan bahwa proses pengesahan RUU Pilkada batal dilakukan setelah serangkaian kejadian dramatis.
Rapat Paripurna yang dijadwalkan pada Kamis (22/8) pukul 09.30 WIB untuk membahas RUU Pilkada harus dibatalkan karena tidak memenuhi syarat kuorum. Hanya 89 dari total 557 anggota DPR yang hadir, jauh di bawah batas minimal yang ditetapkan dalam Pasal 279 dan 281 Aturan Tata Tertib DPR, yang mensyaratkan kehadiran lebih dari separuh anggota.
“Rapat paripurna yang direncanakan harus diskors setelah tidak memenuhi kuorum. Skors dilakukan selama 30 menit dari pukul 09.30 WIB, namun gagal mengumpulkan jumlah anggota yang dibutuhkan,” jelas Dasco. Ia menambahkan bahwa rapat tersebut batal dilanjutkan setelah batas waktu 10.00 WIB, meskipun Baleg telah menyetujui RUU Pilkada.
Dasco membantah bahwa pembatalan ini disebabkan oleh tekanan dari demonstrasi masyarakat. Menurutnya, keputusan pembatalan diambil sebelum gelombang aksi protes dimulai di depan gedung DPR.
Di Jakarta, aksi protes berlangsung sengit di depan Gedung DPR, melibatkan elemen buruh, mahasiswa, serta beberapa komika dan artis. Ketegangan memuncak saat anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra, Habiburokhman, berusaha menemui massa, yang menanggapi dengan melemparkan botol air mineral dan merobohkan pagar gedung DPR. Ruas tol dalam kota pun mengalami kemacetan parah akibat aksi tersebut, dengan beberapa insiden kebakaran di ruas tol.
Sementara itu, di Semarang, massa mahasiswa terlibat aksi dorong-dorongan dan menggoyang pagar DPRD Jateng. Di Solo, mahasiswa bentrok dengan polisi di Gerbang Utara Balai Kota Solo, mencoba memaksa masuk untuk membacakan tuntutan mereka. Di Kota Serang, Banten, ratusan mahasiswa memblokir jalan sebagai protes terhadap rencana revisi UU Pilkada. Di Bandung, aksi demo di depan DPRD Jawa Barat diwarnai pelemparan batu dan molotov serta pembakaran pagar.
Puncaknya, aparat keamanan di beberapa lokasi terpaksa menggunakan gas air mata dan water cannon untuk membubarkan massa. Situasi ini menggambarkan ketegangan tinggi yang mengelilingi isu revisi UU Pilkada dan respons masyarakat yang sangat menolak perubahan tersebut.