PANTAU LAMPUNG– DPR terpaksa menunda jadwal paripurna untuk pengesahan Revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (RUU Pilkada) akibat belum tercapainya kuorum kesepakatan di antara pimpinan DPR. Penundaan ini diumumkan oleh Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, pada Kamis (22/8).
“Karena kuorum belum terpenuhi, kami akan menjadwalkan kembali rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk membahas paripurna,” ungkap Dasco Ahmad.
Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR telah sepakat untuk membawa RUU Pilkada ke paripurna pada hari ini. RUU tersebut disetujui oleh delapan dari sembilan fraksi di DPR, dengan PDIP sebagai satu-satunya fraksi yang menolak.
Pembahasan RUU Pilkada berlangsung cepat dalam waktu kurang dari tujuh jam, dan dilakukan sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah syarat pencalonan pilkada. Meskipun demikian, DPR tidak mengakomodasi seluruh putusan MK dalam revisi ini.
Penundaan pengesahan RUU Pilkada juga terjadi di tengah gelombang protes besar dari masyarakat. Demo besar-besaran digelar serentak di sejumlah kota pada hari ini, dengan fokus utama di Gedung DPR RI, Jakarta. Demonstrasi ini adalah bagian dari gerakan ‘peringatan darurat Indonesia’, yang menjadi viral di media sosial sebagai respons terhadap tindakan DPR yang dianggap mengabaikan putusan MK.
Aparat kepolisian telah disiagakan di depan kompleks parlemen untuk mengantisipasi aksi massa. Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) bersama aliansi buruh dan nelayan memimpin aksi protes ini, menuntut agar RUU Pilkada tidak disahkan.
“Walaupun isu ini mungkin tidak sebesar kenaikan BBM atau harga pangan dalam hal dampaknya langsung kepada masyarakat, kami merasa penting untuk menyuarakan ketidakpuasan ini,” kata Koordinator BEM SI, Noval.
“Walaupun perut kenyang, jika konsepsi bernegara kita hancur, rasa-rasanya negeri ini tidak lagi punya harga,” tambah Noval, menegaskan pentingnya integritas dalam penyelenggaraan negara.