Kemerdekaan dan Kehidupan Berkelanjutan
Oleh: Mochammad Nashir Badri*
MEMPERINGATI Hari Kemerdekaan 17 Agustus setiap tahun selalu diramaikan oleh hiruk pikuk jargon bagi para generasi untuk mengisi kemerdekaan dengan membangun, dengan karya, dengan takwa, semangat, dedikasi, inovasi, dll, dll. Hari Kemerdekaan kerap menjadi momentum rutin untuk membangkitkan semangat membangun negeri yang konon kaya raya ini.
Negeri yang kaya, sejatinya akan menjamin rakyatnya (manusianya) untuk hidup sejahtera dan berkemakmuran, serta berkelanjutan. Negeri yang kaya menyediakan begitu banyak sumberdaya yang memberi manfaat untuk seluruh rakyat. Negeri yang kaya sejatinya menempatkan kata ‘miskin’ sebagai frase haram untuk digunakan.
Bagaimanakah hidup merdeka di negeri yang kaya? Faktanya, jalani saja hidupmu di negeri ini sekarang. Idealnya? Bukalah buku dan referensi, kulik, googling, diskusi, ngobrol, ngopi, nonton, dengar, dan seribu upaya belajar lainnya. Maka akan terlihat, betapa pragmatisme, ketimpangan, kapitalisme, dan maaf, ketidakcerdasan telah mengepung kehidupan. Merdeka seakan telah berubah terminologi menjadi bebas memanfaatkan apa saja untuk memenuhi kebutuhan saat ini, termasuk syahwat.
Kekayaan alam yang adalah salah satu hadiah terbaik dari Sang Pencipta ternyata belum sepenuhnya berbalas rasa syukur, yang secara filosofis harus disertai dengan tindak nyata memelihara, melestarikan, mencintainya, memanfaatkannya dengan bijak berkelanjutan. Tidak perlahan dan pasti, fenomena-fenomena alam menggerus kualitas kehidupan. Pemanasan global dan perubahan iklim, deforestasi, degradasi daya dukung dan daya tampung lingkungan, polusi, degradasi ekosistem darat dan air, kerusakan keanekaragaman hayati, dll, dll telah memaksa kehidupan turun grade jauh dibanding masa lampau. Teknologi, yang sejatinya menjadi pralambang kecerdasan dan kebijaksanaan manusia mengelola alam, seolah berubah fungsi menjadi penghancur alam dan kehidupan (termasuk sosial dan budaya).
Kesadaran dunia (atau kekhawatiran ekonomis?) akhirnya memunculkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable developments), yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan hidup masa sekarang dengan mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan hidup generasi mendatang. Prinsip utamanya adalah mempertahankan kualitas hidup bagi seluruh manusia pada masa sekarang dan pada masa depan secara berkelanjutan. Pembangunan model ini dilaksanakan dengan prinsip kesejahteraan ekonomi, keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan.
Pembangunan berkelanjutan sangat memperhatikan dampak dari setiap tindakan sosial dan ekonomi terhadap lingkungan hidup. Dampak buruk terhadap lingkungan hidup harus dihindari dari setiap kegiatan sosial dan ekonomi sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga pada masa sekarang dan pada masa mendatang.
Apa yang telah kita lakukan sekarang? Pembangunan berkelanjutan yang menjadi konsesus global, ternyata membutuhkan tekad dan kerja ekstra keras untuk diaplikasikan, digebyarkan, atau bahkan hanya untuk diperdengarkan. Menjadi sebuah contoh adalah; ketidaktahuan, ketidakpahaman warga negara tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang menjadi dasar setiap upaya membangun suatu wilayah (negara, provinsi, kabupaten/kota). Rakyat awam tidak mengerti itu, bahkan kekhawatiran saya mengatakan bahwa penguasa sendiripun tidak (mau) memahami itu. Setidaknya, inilah yang terlihat dalam skala lokal (Provinsi Lampung). Padahal, 17 butir SDGs dengan 169 target terukurnya telah tersusun dan menjadi isu universal.
Sikap untuk memahami, berakar dari pengetahuan logis. Memahami menurut KBBI berarti mengerti benar, mengetahui benar, memaklumi, dan mengetahui. Artinya, pengertian ‘memahami’ memiliki korelasi erat dengan bagaimana kemudian melaksanakan sesuatu hingga tuntas. Dalam konteks ini adalah bagaimana SDGs tidak sekadar catatan dokumen, tetapi menjadi orientasi utama berbagai aktivitas pembangunan.
17 butir SDGs mencakup; 1) Tanpa Kemiskinan; 2) Tanpa Kelaparan; 3) Kehidupan Sehat dan Sejahtera; 4) Pendidikan Berkualitas; 5) Kesetaraan Gender; 6) Air Bersih dan Sanitasi Layak; 7) Energi Bersih dan Terjangkau; 8) Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi; 9) Industri, Inovasi dan Infrastruktur; 10) Berkurangnya Kesenjangan; 11) Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan; 12) Konsumsi dan Produksi yang Bertanggungjawab; 13) Penanganan Perubahan Iklim; 14) Ekosistem Lautan; 15) Ekosistem Daratan; 16) Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh; dan 17) Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. Lihat saja, semua agenda yang langsung menyentuh urusan lingkungan hidup sebagaimana penekanan dalam tulisan ini telah terangkum dalam Pilar Pembangunan Lingkungan, yang memcakup tujuan ke-6, 11, 12, 13, 14, dan 15 dari SDGs.
Mari bicara contoh kongkrit. Visi hidup berkelanjutan nampak sulit untuk dibedakan dengan mimpi. Pertumbuhan kendaraan di provinsi ini sebesar 100.000 unit per tahun, melebihi pertumbuhan penduduk yang ‘hanya’ naik 94.754 jiwa pada tahun 2022. Jumlah total penduduk tahun yang sama adalah sebanyak 9,17 juta jiwa (data BPS Provinsi Lampung, 2023). Kendaraan dan aktivitasnya, sangat kasat mata menjadi penyebab polusi udara, pemborosan energi tak terbarukan, dan persoalan-persoalan transportasi.
Atau, mari kita bicara sampah, hal paling populer di kota ini (Bandar Lampung) akhir-akhir ini. Tahun 2022, Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandar Lampung mencatat volume sampah domestik kota ini mencapai 1.000 ton per hari. Sementara DLH Provinsi Lampung mencatat volume sampah di seluruh provinsi mencapai angka 4.515 ton per hari, sebagian mencemari Teluk Lampung, salah satu sumber penting keanekaragaman hayati. Ini baru sampah domestik. Lalu bagaimana gunungan ‘potensi’ tersebut dikelola dengan prinsip berkelanjutan? Sejauh mana kesadaran akan pentingnya upaya meminimalisir produksi sampah telah digaungkan dan dilaksanakan secara masif?
Berderet pertanyaan menjadi topik-topik penting berbagai fenomena degradasi lingkungan, yang juga berarti degradasi kualitas kehidupan. Dua kasus di atas hanya sedikit sekali contoh.
Degradasi fungsi lingkungan adalah lawan kata dari kehidupan berkelanjutan. Lantas, apa pesan penting terkait kehidupan berkelanjutan dalam fase kehidupan yang merdeka? Ketika kita memaknai ‘merdeka’ sebagai sebuah kebebasan, makna terluas dalam konteks bahasan ini adalah melepaskan diri dari belenggu kebodohan masa sekarang yang berakibat pada keterpurukan masa depan. Terlampau besar resiko yang diambil bila kita menggadaikan kehidupan anak cucu kelak. Mengabaikan pembangunan berkelanjutan sama dengan menyiapkan bumi yang tidak bersahabat untuk menjadi modal hidup generasi ke depan.
Ternyata sangat banyak hal yang mesti kita perbuat. Semua butuh keikhlasan. Tabik.
Bandar Lampung, 17 Agustus 2023
* Penggiat Komunitas Diseminasi Hijau Itu Kita
* Ketua Majelis Pakar DPC PPP Kota Bandar Lampung