PANTAU LAMPUNG – Wacana penggunaan model omnibus law dalam revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepemiluan memicu kekhawatiran berbagai pihak. Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas (Pusako Unand), Charles Simabura, menilai pendekatan ini berisiko menjadi ajang cherry-picking oleh DPR, dengan hanya merevisi pasal-pasal strategis yang menguntungkan pihak tertentu.
Charles mengingatkan bahwa penyusunan regulasi terkait Pemilu dan Pilkada harus dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi, bukan hanya berfokus pada aspek politis tertentu seperti Presidential Threshold. “Kalau menggunakan omnibus law, saya khawatir hanya pasal-pasal strategis yang diperdebatkan. Padahal, ada sekitar 155 pengujian UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi yang perlu menjadi perhatian,” ujar Charles.
Omnibus vs. Kodifikasi
Charles mendorong pemerintah dan DPR untuk mempertimbangkan metode kodifikasi dalam merevisi UU Pemilu dan Pilkada. Menurutnya, kodifikasi memberikan pendekatan lebih komprehensif dan memungkinkan pengadopsian berbagai putusan Mahkamah Konstitusi yang berdampak luas, bukan hanya yang bernilai strategis secara politis.
Sementara itu, Titi Anggraini, pakar hukum pemilu dari Universitas Indonesia dan Dewan Pembina Perludem, juga menyuarakan perlunya integrasi regulasi Pemilu dan Pilkada dalam bentuk satu undang-undang. Ia mendorong pembentukan “Kitab Hukum Pemilu” melalui metode kodifikasi, yang mengatur secara lengkap pemilu legislatif, presiden, kepala daerah, hingga penyelenggara pemilu dalam satu naskah hukum.
Titi mengusulkan agar DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu, agar pembahasan dapat dilakukan secara mendalam oleh legislator terbaik dari setiap fraksi. “Kodifikasi memungkinkan aturan Pemilu dan Pilkada disusun secara terstruktur, sehingga mengatasi tumpang tindih dan perbedaan yang selama ini ada,” katanya.
Perlu Langkah Strategis dan Transparansi
Baik Charles maupun Titi sepakat bahwa revisi UU Kepemiluan adalah langkah penting untuk menciptakan sistem pemilu yang lebih adil dan transparan. Namun, pendekatan omnibus law dianggap terlalu sempit dan berisiko tidak mengakomodasi kebutuhan reformasi sistem pemilu yang menyeluruh.***