PANTAU LAMPUNG – Menjelang akhir masa jabatannya, total utang pemerintah era Presiden Joko Widodo diperkirakan mencapai Rp8.502,7 triliun. Lonjakan utang ini memicu kekhawatiran di kalangan para ahli ekonomi.
Menurut Prof. Sri Herianingrum, Guru Besar Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, utang yang menggunung selama pemerintahan Jokowi sudah memasuki zona berbahaya. Pada Juli 2024, penambahan utang sebesar Rp266,3 triliun, atau kenaikan 36 persen dibandingkan tahun lalu yang hanya Rp195 triliun, menjadi sorotan utama.
Prof. Sri menilai bahwa kondisi utang saat ini sudah memasuki “lampu kuning” bagi perekonomian Indonesia. “Jumlah utang yang terus meningkat tanpa diimbangi pengelolaan yang baik bisa menjadi beban berat bagi pemerintahan berikutnya,” ujar Prof. Sri.
Ia menekankan bahwa meskipun utang tidak dilarang dan dapat digunakan untuk memajukan ekonomi, pengelolaannya harus hati-hati. “Utang bisa menjadi alat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi jika melebihi batas aman, risikonya akan sangat besar,” jelasnya.
Prof. Sri juga menyoroti dampak jangka panjang dari utang terhadap pemerintahan baru yang akan dilantik pada 20 Oktober mendatang. “Pemerintah baru harus memiliki strategi pengelolaan utang yang jelas untuk menghindari beban di masa depan. Diversifikasi instrumen utang dan pengelolaan risiko yang baik sangat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi,” tambahnya.
Selain itu, Prof. Sri mengingatkan bahwa pengelolaan utang yang buruk dapat merusak reputasi Indonesia di mata investor internasional. “Terlalu banyak utang dapat memberi sinyal negatif kepada investor global. Meskipun cadangan devisa dan aktivitas internasional bisa meningkat, reputasi ekonomi yang terlalu bergantung pada utang tentunya akan berdampak buruk,” katanya.