PANTAU LAMPUNG— Mahkamah Konstitusi (MK) telah memulai sidang untuk menguji gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden. Gugatan ini diajukan oleh pemerhati pemilu, Titi Anggraini, bersama dengan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (NETGRIT).
Menurut Titi Anggraini, para pemohon mengusulkan agar partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPR dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa harus memenuhi ambang batas tertentu. “Para Pemohon mengusulkan agar partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPR dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa ambang batas,” jelas Titi dalam keterangannya, Jumat (23/8).
Sementara itu, partai-partai yang tidak memiliki kursi di DPR diizinkan untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden asalkan membentuk koalisi dengan minimal 20 persen dari jumlah partai politik peserta pemilu. Dengan 18 partai politik peserta pemilu, koalisi minimal harus terdiri dari tiga partai.
“Kewajiban partai politik nonparlemen untuk bergabung akan menunjukkan kematangan struktur politik dan keseriusan dalam pengusungan,” tambah Titi.
Dia menekankan bahwa pembedaan perlakuan ini masih dalam batas toleransi, sesuai dengan logika yang diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020 mengenai verifikasi partai politik parlemen dan non-parlemen.
Dalam UU Pemilu, ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ditetapkan sebesar 20 persen dari jumlah kursi di DPR RI atau 25 persen dari suara sah nasional pada pemilu sebelumnya. Para pemohon menilai ambang batas ini bertentangan dengan semangat keberagaman yang diatur dalam Pasal 6A Ayat (3) UUD NRI 1945 dan prinsip keadilan dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI 1945.
Sidang uji materi ambang batas pencalonan presiden ini mengikuti langkah Mahkamah Konstitusi yang baru-baru ini mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024.