PANTAU LAMPUNG– Kabupaten Pringsewu, Lampung, kini menghadapi krisis serius terkait pengelolaan sampah. Lembaga Konservasi 21 (LK 21) Provinsi Lampung menyoroti kondisi ini setelah diterbitkannya Surat Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup Nomor: 256 Tahun 2025, yang menetapkan Pringsewu sebagai salah satu dari 272 kabupaten/kota di Indonesia yang mengalami kedaruratan sampah. LK 21 menekankan bahwa situasi ini bukan sekadar masalah kebersihan, melainkan ancaman nyata bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Direktur LK 21 Provinsi Lampung, Ir. Edy Karizal, menjelaskan bahwa Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bumi Ayu menjadi titik krisis utama. “Kondisi TPA Bumi Ayu sudah tidak terkendali. Volume sampah menumpuk melebihi kapasitas dan sistem pengelolaan yang ada tidak memadai. Jika tidak ada langkah cepat, dampaknya akan dirasakan luas, mulai dari pencemaran air, tanah, hingga kualitas udara,” tegas Edy saat ditemui wartawan, Senin (3/11/2025).
Menurut Edy, masalah utama darurat sampah di Pringsewu meliputi keterbatasan kapasitas TPA, minimnya sistem pengelolaan terpadu, serta kurangnya kesadaran masyarakat dalam mengurangi dan memilah sampah rumah tangga. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya edukasi mengenai pemilahan sampah organik dan non-organik serta minimnya fasilitas daur ulang di tingkat komunitas.
“Ini bukan sekadar simbol atau formalitas administratif. Status darurat menunjukkan sistem pengelolaan sampah telah melewati batas aman. Pemerintah daerah harus segera menyusun rencana aksi nyata dengan target yang jelas,” lanjutnya.
LK 21 mendorong pemerintah Kabupaten Pringsewu melakukan audit lingkungan di TPA Bumi Ayu, memperluas fasilitas pengolahan berbasis teknologi ramah lingkungan, dan mengimplementasikan program bank sampah di setiap kelurahan dan desa. Selain itu, edukasi berkelanjutan kepada masyarakat tentang daur ulang, pengurangan sampah plastik, dan pemilahan sampah sejak rumah tangga sangat penting untuk menekan volume sampah yang masuk ke TPA.
Edy Karizal menekankan pentingnya kolaborasi lintas pihak. “Ini tanggung jawab bersama. Pemerintah daerah, komunitas lingkungan, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat harus bersinergi. Kami siap memberikan pendampingan teknis dan dukungan program agar Pringsewu bisa keluar dari status darurat sampah,” ujarnya.
Dampak dari darurat sampah tidak bisa dianggap ringan. Volume sampah yang menumpuk dapat mengganggu kualitas air bersih, mencemari tanah yang seharusnya produktif, dan meningkatkan risiko penyakit bagi masyarakat. Dengan penanganan yang tepat, Pringsewu bisa menjadi contoh pengelolaan sampah terpadu dan ramah lingkungan di Lampung.***











