Ormas, Modal Politik Olahan Penguasa – Asumsi
Ormas berkewajiban memelihara dan melestarikan nilai moral, etika dan berkewajiban menjaga ketertiban umum– begitu bunyi pada beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Kita mengenal ormas legendaris di Indonesia bernama Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan pada 31 Januari 1926 M dan memiliki arti Kebangkitan Ulama yang didirikan oleh para Kiyai dari Jawa.
Kita juga mengenal Ormas Pemuda Pancasila, suatu organisasi paramiliter Indonesia yang didirikan Jenderal Abdul Haris Nasution pada 28 Oktober 1959 dan menurut jejak digital, Pemuda Pancasila dibentuk dari gengster politik semi-resmi yang mendukung pemerintahan Orde Baru Jenderal Soeharto.
Tentu saja masih sangat banyak Ormas yang ada, seperti salah satu yang dibubarkan rezim Jokowi ialah Front Pembela Islam pimpinan Muhammad Rizieq Shihab yang didirikan pada tahun 1998, yang didukung tokoh militer dan tokoh politik.
Sungguh tampak bahwa sejak didirikannya Ormas sudah melekat dengan kekuasaan sehingga tak salah ketika ada yang berpendapat bahwa ormas semacam telah menjadi sumbu dan bumbu kekuasaan.
NU malahan bekas partai politik dan memiliki basis partai yakni Partai Kebangkitan Bangsa yang kekuasaannya sempat diperebutkan oleh Gus Dur dan Cak Imin.
Ya kembali ke masalah Ormas. Jika boleh menerapkan teori perandai-andaian maka mungkin saja penyelenggaraan Ormas berkaitan erat untuk dukung mendukung serta goyang menggoyang kekuasaan.
Bahkan ada obrolan warung kopi bahwa salah satu Ormas yang dianggap biangrusuh merupakan semacam simpanan untuk mengamankan dana hibah global bagi suatu Republik. Namun semua hanya sebatas obrolan atas analisa berita dan omongan orang dekat penguasa.
Balik lagi ke masalah ormas sebagai sumbu dan bumbu kekuasaan. Tahun ini pasca Pilpres, Pileg dan Pilkada 2024– tahun ini 2025 muncul Grib Jaya dengan segala kearoganannya.
Sengaja kita sebut arogan karena pimpinan Grib Jaya Jawa Barat Alexander Etwiorry menantang Gubernur Dedi Mulyadi untuk bertatap muka karena merasa kurang menerima ketika KDM membentuk satgas antipremanisme yang padahal tidak menyebut organisasi Kemasyarakatan tertentu.
Dari situ kemudian muncul berita viral yang sangat menyita dan seakan memèras perhatian publik. Pertama muncul pembakaran polisi di Depok yang katanya merupakan tindakan oknum ormas dan kedua muncul pernyataan “gila” Ketua Umum Ormas Grib Jaya Hercules yang menantang Purn. jenderal Sutiyoso Eks Gubernur Jakarta walaupun yang bersangkutan itu telah meminta maaf. Selain itu, kemudian timbul pernyataan “gilanya” yang menantang Purn. Jenderal Gatot Nurmantyo yang merupakan Eks Panglima TNI. Gila
Dulu Hercules tidak seberani dan sefrontal seperti saat ini– berani dan frontal ketika presiden Prabowo Subainto membentuk rezim baru Indonesia dan Eks Presiden Jokowi makin kesohor dalam segala jenis kontroversinya.
Bukan suatu rahasia negara atau rahasia pribadi bahwa Hercules merupakan orang dekat Prabowo Subianto walau pada masa saat masih menjabat Jenderal dan menantu Soeharto, Prabowo sendiri mengungkap dengan media bahwa tidak mungkin berteman dengan preman. Selain itu, pada acara berita televisi nasional, kita juga dipertontonkan kedatangan Hercules ke rumah mantan presiden Joko Widodo di Solo yang mencitrakan kedekatan Hercules dengan penguasa berpengaruh di Indonesia.
Enggak salah dan tidak ada yang salah atas kehadirannya di rumah pembesar Republik karena Grib Jaya ialah Organisasi Kemasyarakatan jaminan undang-undang yang merupakan produk politik. Tapi Hercules adalah Hercules yang namanya besar sebagai bapak gengster. Apalagi kedatangannya ke rumah Joko Widodo saat polemik Grib Jaya dengan Dedi Mulyadi masih panas-panasnya maka kemudian muncul pertanyaan sederhana bahwa apakah pertemuan di solo itu merupakan inisiatif Joko Widodo untuk menenangkan kubu Hercules ataukah inisiatif Joko Widodo untuk unjuk kuasa bahwa dirinya masih memegang kendali Hercules sebab kita tahu gosipnya bahwa Hercules orang kepercayaan Prabowo dan begitu juga Dedi Mulyadi yang sekarang ini mendukung kekuasaan Prabowo– apakah ada motif bahwa Jokowi mau pamer kuasa kepada Prabowo dan Dedi Mulyadi dengan memainkan peran Hercules? Namun ini semua hanya menerapkan teori perandai-andaian sebagaimana kita memulai tesis.
Ormas bagaimanapun baik buruknya tetap saja mempunyai basis masa sehingga kerap dalam pelibatan pendulangan suara pemenangan. Paslon presiden mana yang tidak pernah kita lihat sowan ke tokoh NU atau Muhammaddiyah? Sepertinya tidak ada dan boleh dilihat dari jejak digital. Para elite politik yang bakal tarung di panggung politik bahkan memanggil wartawan ketika hendak mendatangi para tokoh ormas Islam. Selain itu, Ormas-ormas para-militer dan yang lain pun secara terang-terangan menggelar deklarasi pemberian dukungan kepada calon tertentu.
Tak jadi soal masalah itu. Namun seperti dalam kata pembuka artikel ini bahwa tujuan mulia atau kewajiban Ormas ialah untuk menjaga moralitas, etika dan ketertiban.
Masyarakat perlu organisasi untuk menguatkan keberadaannya agar tidak menjadi budak politik dan sampah kebijakan publik. Mampukah Ormas mewujudkan itu tanpa harus menjadi arogan karena kedekatan dengan penguasa? Tampaknya sulit karena sudah menjadi sumbu dan bumbu politik. Didirikannya Ormas bukan lagi untuk kemaslahatan umat atau rakyat, tapi untuk mengamankan kemenangan politik dan mengamankan anggaran dan tambang bahkan tanah hibah dari para pemenang yang menjadi objek dukungan. Kepada masyarakat itu sendiri, Ormas kerap bertindak arogan dengan menutup warung kecil ketika bulan ramadhan, misalnya.
Ormas apapun bentuk dan bunyinya harus tetap berpegang teguh pada prinsip undang-undang, ada untuk kepentingan masyarakat bukan untuk tujuan olah mengolah kekuasaan maupun “alat pembakaran” politik.***