PANTAU LAMPUNG– Upaya intervensi dari partai politik dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap asas pemilu yang bersih, jujur, dan adil.
Dosen Ilmu Politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai bahwa intervensi dalam dukungan partai terhadap pasangan calon di pilkada merusak integritas proses demokrasi. “Tindakan ini menciptakan situasi di mana hukum seakan bisa dimanipulasi untuk menekan pihak lawan,” kata Ujang.
Perubahan dukungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan NasDem di Pilkada Dharmasraya, Sumatera Barat, merupakan contoh nyata dari praktik ini. PKS awalnya mendukung pasangan Adi Gunawan-Romi Siska, namun dukungan tersebut dialihkan ke pasangan Annisa Suci Ramadhani-Leli Arni.
Ujang menjelaskan bahwa strategi pemenangan pilkada bisa dilakukan dengan metode elektoral, seperti kampanye, atau non-elektoral, yaitu melalui lobi dan tekanan hukum. “Strategi non-elektoral ini melibatkan penggunaan instrumen hukum seperti kepolisian atau kejaksaan untuk memengaruhi keputusan ketua umum partai,” ujar Ujang.
Kasus di Dharmasraya diduga merupakan contoh strategi non-elektoral, di mana pihak-pihak tertentu berupaya meraih kemenangan dengan cara yang tidak sah. “Ini bukan hal baru; pola-pola seperti ini sudah sering terjadi dalam berbagai momentum pemilihan,” tambah Ujang.
Menurutnya, tindakan seperti ini tidak hanya melanggar asas-asas pemilu yang bersih, jujur, dan adil, tetapi juga menciptakan ketidaksehatan dalam sistem demokrasi. Mengenai permintaan PKS untuk mengikuti pilihan KIM Plus di Pilkada Dharmasraya, Ujang menilai bahwa kerja sama harus didasari oleh prinsip saling menguntungkan.