PANTAU LAMPUNG – Gugatan terhadap kepengurusan DPP PDIP yang diajukan ke PTUN dinilai kental dengan nuansa politik. Menurut Ketua DPP PDI Perjuangan, Deddy Yevry Sitorus, gugatan ini bukan sekadar upaya hukum, melainkan sebuah langkah politik yang dianggap keterlaluan.
“Kami menganggap ini sebagai tindakan politik yang ekstrem, bukan semata-mata upaya hukum,” ujar Deddy dengan tegas.
Deddy menilai bahwa para penggugat tidak mengalami kerugian baik moril maupun materil dari gugatannya. Ia memandang gugatan ini lebih sebagai bentuk “penyerangan” terhadap PDIP.
“Yang mencurigakan adalah beberapa pengacara penggugat tampaknya memiliki afiliasi dengan partai tertentu. Jadi, sangat jelas aroma politiknya,” kata Deddy.
Deddy juga menyoroti dampak hukum yang besar dari logika yang digunakan oleh para penggugat. Pada 2019, PDIP mempercepat Kongres dan menyesuaikan mekanisme penyusunan pengurus di daerah untuk menyelaraskan dengan agenda politik nasional saat itu.
Menurut Deddy, jika logika penggugat diterima, maka SK DPP PDIP yang dikeluarkan setelah percepatan kongres menjadi tidak sah, termasuk keputusan terkait pemilihan kepala daerah.
“Sebagai contoh, Gibran Rakabuming Raka menjadi Walikota Solo menggunakan SK DPP PDIP yang diatur pasca percepatan kongres. Jika keputusan DPP saat itu cacat hukum, berarti Gibran adalah produk cacat hukum. Artinya, dia harus dianulir sebagai cawapres terpilih 2024,” jelas Deddy.
Ia menegaskan bahwa Gibran harus memenuhi syarat pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah untuk bisa menjadi cawapres. Jika keputusan PDIP pasca percepatan kongres dianggap tidak sah, maka Gibran juga dianggap tidak sah.
“Begitu juga dengan seluruh produk hukum pilkada 2020 di seluruh Indonesia,” tambahnya.
Sebelumnya, SK perpanjangan kepengurusan PDIP yang dikeluarkan Kemenkumham untuk periode 2019-2024 dan diperpanjang hingga 2025 telah digugat ke PTUN Jakarta. Gugatan tersebut diajukan oleh empat orang yang mengaku sebagai kader PDIP, yaitu Pepen Noor, Ungut, Ahmad, dan Endang Indra Saputra.