PANTAU LAMPUNG – Perludem meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menjadwalkan pilkada ulang pada tahun 2025 jika calon tunggal kalah dari kotak kosong. Desakan ini disampaikan oleh Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, yang menilai bahwa penundaan pilkada hingga 2029 akan menghambat proses pembangunan di daerah terkait.
“Penting bagi KPU untuk menjadwalkan pilkada ulang segera setelah calon tunggal kalah dari kotak kosong. Hak rakyat untuk memiliki pemimpin daerah definitif harus dipenuhi, dan KPU berperan sebagai fasilitator dalam hal ini,” ujar Titi Anggraini.
Menurut Titi, keberadaan pejabat sementara di suatu daerah memiliki keterbatasan yang signifikan dalam melaksanakan pembangunan. “Jika suatu daerah dipimpin oleh penjabat selama lima tahun, hal ini dapat merugikan proses pembangunan dan tata kelola pemerintahan, karena penjabat memiliki kewenangan terbatas dibandingkan dengan kepala daerah definitif yang terpilih melalui pilkada,” jelasnya.
Titi Anggraini memberikan contoh dari Pilkada Kota Makassar pada tahun 2018, di mana kotak kosong memenangkan pilkada dan KPU kemudian menjadwalkan pilkada ulang pada 2020. Ia menjelaskan bahwa penjadwalan pilkada ulang pada tahun 2020 sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku, mengingat pemilu serentak pada tahun 2019 membuat pelaksanaan pilkada ulang pada tahun tersebut tidak memungkinkan.
Lebih lanjut, Titi merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 2016, yang menyebutkan bahwa penjadwalan pilkada serentak berhenti pada tahun 2024. “Dengan adanya keserentakan pilkada nasional yang dimulai pada 2024, maka pilkada untuk daerah yang dimenangkan kotak kosong seharusnya diulang pada tahun berikutnya, sesuai dengan Pasal 54D ayat (3) UU 10/2016,” tegas Titi.
Titi menilai bahwa melaksanakan pilkada ulang pada 2029 jika kotak kosong menang adalah kebijakan yang tidak logis. Ia berharap KPU mempertimbangkan kembali jadwal pilkada ulang untuk daerah yang mengalami situasi tersebut. “Menunda pilkada hingga lima tahun adalah kebijakan yang tidak rasional dan bisa dianggap diskriminatif terhadap pemilih di daerah tersebut,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa menunda pilkada selama lima tahun bertentangan dengan prinsip demokrasi dan bisa menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. “Kebijakan ini bisa memicu pragmatisme di kalangan pemilih, yang mungkin lebih memilih calon tunggal daripada menghadapi lima tahun kepemimpinan penjabat. Ini sangat merugikan hak pilih warga dan bertentangan dengan semangat pilkada langsung dan kedaulatan rakyat,” imbuh Titi Anggraini.