PANTAU LAMPUNG—Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad membantah bahwa pembatalan pengesahan RUU Pilkada disebabkan oleh tekanan dari gelombang aksi massa. Dasco menjelaskan bahwa keputusan tersebut diambil sebelum massa aksi di sekitar Gedung DPR RI memadati lokasi.
“Pembatalan pengesahan RUU Pilkada diumumkan pada pukul 10.00 WIB, saat itu kondisi masih sepi dan belum ada massa. Tidak ada komunikasi atau tekanan dari demonstrasi yang mempengaruhi keputusan tersebut,” ungkap Dasco.
Menurut Dasco, pembatalan dilakukan karena DPR mengikuti tata tertib persidangan yang berlaku. Setelah penundaan selama 30 menit dari pukul 09.30 hingga 10.00 WIB, DPR memutuskan untuk tidak melanjutkan proses pengesahan RUU Pilkada.
Dasco menambahkan bahwa karena tahapan pendaftaran pilkada dimulai pada 27 Agustus mendatang, dan RUU Pilkada belum disahkan menjadi undang-undang pada saat itu, maka yang berlaku adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait judicial review yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora.
“Selama RUU Pilkada belum sah, maka aturan yang berlaku adalah hasil putusan MK,” tegas Dasco.
Pembatalan pengesahan RUU Pilkada terjadi di tengah aksi protes yang meluas di berbagai daerah, termasuk di depan Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta. Aksi tersebut merupakan bagian dari gerakan ‘peringatan darurat Indonesia’ yang viral di media sosial setelah DPR dikritik karena mencoba mengabaikan putusan MK.
Sebelumnya, Badan Legislatif (Baleg) DPR telah menyepakati revisi UU Pilkada dalam rapat pada Selasa (20/8). RUU tersebut disetujui oleh delapan dari sembilan fraksi di DPR, dengan PDIP sebagai satu-satunya fraksi yang menolak.
Pembahasan RUU Pilkada dilakukan dalam waktu kurang dari tujuh jam dan dilakukan sehari setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah syarat pencalonan pilkada. Namun, DPR tidak mengakomodasi keseluruhan putusan MK.
Rencana pengesahan RUU Pilkada yang awalnya dijadwalkan pada Kamis ini dibatalkan karena tidak memenuhi kuorum.