Puluhan keluarga di Desa Rejo Basuki, Kecamatan Seputih Raman, Kabupaten Lampung Tengah, sukses mengembangkan biogas sebagai pengganti gas elpiji, tak hanya untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga tapi juga untuk kelangsungan industri UMKM yang lebih hemat dan ramah lingkungan.
Pantau Lampung–Pagi-pagi sekali, Suryani sudah menyambangi kandang sapi di belakang rumahnya. Tak lama, ia keluar dari kandang membawa dua ember besar kotoran sapi.
Hanya beberapa meter dari kandang, ia mulai serius mencampur kotoran sapi itu, dengan air hingga membentuk lumpur yang sesuai komposisi, kemudian dialirkan menuju tangki pencerna (digester) dengan tambahan starter dan isi rumen segar, agar proses fermentasi lebih maksimal dan biogas siap dipakai.
“Hampir setiap hari bikin fermentasi biogas, karena sedang banyak pesanan keripik dan mocaf,” kata Suryani sembari mengatur regulator yang dipasang di pipa untuk mengalirkan biogas ke kompornya.
Sebagai ibu rumah tangga sekaligus pembuat keripik singkong, tepung mocaf dan tiwul bersama komunitas Kelompok Wanita Tani (KWT) di Desa Rejo Basuki, Suryani memang amat terbantu dengan biogas ini.
Sudah sejak setahun lalu, ia benar-benar lepas dari ketergantungan gas elpiji yang kerap kali langka dan mahal di kampungnya.
“Alhamdulillah, amat terbantu dengan biogas ini. Bukan cuma untuk masak tapi juga untuk menjalankan usaha keripik, mocaf dan tiwul saya,” tuturnya sumringah.
Setahun lalu, sebelum beralih ke biogas, Suryani biasa menggunakan paling sedikit tujuh tabung gas elpiji 3 kilo tiap bulannya.
Selain memenuhi kebutuhan memasak untuk keluarganya, ia menggunakan gas elpiji untuk menjalankan usaha pembuatan keripik singkong dan tepung mocaf, sesekali membuat tiwul jika ada pesanan.
“Kalau sedang tidak langka, harga gas elpiji Rp25 ribu per tabung. Tapi, kalau sedang langka, harganya bisa sampai Rp35 ribu,” kenangnya.
Saat masih menggunakan gas elpiji, Suryani tak terlalu total menjalankan usaha rumahannya. Ia hanya akan membuat keripik atau tepung mocaf ketika ada pesanan saja.
“Karena, kalau menggoreng keripik atau mengukus tiwul itu kan lumayan lama. Kalau pake gas elpiji jadi boros banget“.
Tapi sekarang, sejak menggunakan biogas, ia bukan hanya melayani pesanan saja, tapi juga menyuplai produk keripik dan tepung mocaf buatannya ke warung-warung hingga pasar.
“Sekarang banyak pesanannya lewat online, karena saya juga promosi di media sosial. Dan, kebanyakan orderan itu dari luar Lampung seperti Padang sampai Jakarta,” jelasnya.
Karena pasokan biogas yang melimpah, membuatnya tak perlu pusing harus mengeluarkan biaya untuk membeli gas elpiji lagi,”hematnya banyak banget sejak pakai biogas”.
Hasilnya juga dirasa amat membantu ekonomi keluarga, ia bahkan bisa menyekolahkan anak tertuanya hingga perguruan tinggi dari omzet usaha industri rumahannya itu.
Suryani juga menepis anggapan bahwa biogas yang dihasilkan dari kotoran ternak punya kecenderungan menimbulkan bau.
“Ini sering banget ditanyain ke saya, katanya kalau pake biogas, makanannya bau kotoran sapi. Lha wong saya pakai biogas ini sudah tahunan lho mas, ndak ada tuh bau kotoran sapi,” katanya menjelaskan.
Ia menilai masih banyaknya anggapan biogas menimbulkan bau, hanya karena melihat bahan utama pembuatan biogas berasal dari kotoran ternak.
“Apinya malah lebih biru lho, dan jauh lebih aman dibanding gas elpiji, jadi nggak khawatir tabung gas meledak,” ujarnya.
Selain itu, tak ada limbah yang tersisa dari pengolahan biogas ini,”sisa fermentasinya bisa jadi pupuk untuk kebun singkong saya, hemat lagi tho, ndak perlu beli pupuk”.
Limbah organik sisa pengolahan biogas atau bio slurry memang diketahui memiliki kandungan nutrisi yang tinggi untuk dijadikan pupuk organik penyubur tanaman, sekaligus pestisida alami yang ramah lingkungan.
Di Desa Rejo Basuki, Suryani menjadi salah satu perintis pemanfaatan kotoran ternak untuk biogas. Apa yang ia lakukan ini, diikuti oleh banyak warga lainnya yang juga mulai beralih ke biogas.
“Sudah banyak yang beralih ke biogas. Yang tidak punya ternak, bisa dibantu oleh warga lain, saling gotong royong, untuk kebaikan bersama,” katanya.
Apalagi, berdasarkan hasil sensus pertanian 2023, populasi ternak di Provinsi Lampung adalah yang terbesar kelima di Indonesia, dan terbesar pertama di Pulau Sumatra, dengan jumlah populasi sebanyak 775.027 ekor sapi dan kerbau.
Sedangkan, populasi kambing di Provinsi Lampung menempati peringkat ketiga terbesar tingkat nasional, dan peringkat pertama terbanyak se-Pulau Sumatra, dengan jumlah populasi hingga 1,6 juta ekor.
Tingginya populasi hewan ternak ini pulalah yang membuat Provinsi Lampung amat potensial dalam hal pengembangan biogas sebagai energi baru dan terbarukan untuk menggantikan gas LPG.
Apalagi, selama ini limbah kotoran ternak kerap dianggap menjadi salah satu penyebab masalah lingkungan, karena menghasilkan emisi metana yang tidak termanfaatkan secara optimal.
Sepanjang periode 2014-2022 Pemerintah Provinsi Lampung melalui kordinasi lintas sektoral, memacu peningkatan populasi ternak di daerah-daerah yang potensial di Lampung, seperti; Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Timur dan Lampung Selatan, melalui berbagai program yang dilakukan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Lampung.
Sedangkan, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Lampung fokus pada pelatihan dan pembangunan instalasi biogas kepada para peternak.
Sementara, Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura Lampung membangun pemahaman kepada petani tentang pemanfaatan limbah biogas untuk dijadikan sebagai pupuk organik untuk kesuburan lahan sekaligus pestisida alami.
Upaya Pemprov Lampung ini juga kemudian diselaraskan dengan program Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) Pertamina dengan menggagas Desa Energi Berdikari yang pilot projectnya dilakukan di Desa Rejo Basuki ini. (Meza Swastika)