Muhammad Alfariezie
Bagaimana para elit politik bertanggung jawab kepada jajaran KPU dan Bawaslu di tingkatan TPS, KPPS hingga PPPK dan Panwaslucam atas kepercayaan diri mereka yang lantang di depan layar kamera televisi soal kecurangan pemilu 2024.
Ganjar Pranowo tegas menginginkan DPR menggunakan Hak Angket guna menyelidiki kecurangan pemilu.
Bak menyambut gayung yang dilempar, Anies Baswedan setuju atas pernyataan lawan politiknya itu. Mereka seolah bersahabat.
Lain dari itu, pendukung 01 pun melakukan demo di depan kantor-kantor KPU atas dugaan kecurangan pemilu 2024 yang memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.
Waduh, bagaimana mereka bertanggungjawab atas lelah, lunglai dan waktu tidur petugas pemilu.
Mereka dulu sangat antusias menyambut pemilu, sebelum kalah. Tapi setelah tahu pemenangnya Prabowo-Gibran, justru dia-dia menuduh penyelenggara melakukan kecurangan.
Padahal penyelenggara mesti begadang, bahkan Pengawas PTPS sampai ada yang pingsan dan dilarikan ke rumah sakit karena mengawal pemilu yang jujur dan adil.
Pantaskah mementingkan ego kekuasaan di atas pesakitan?
Masing-masing partai sudah memerintahkan para saksi di tiap-tiap TPS. Saat rekapitulasi di tingkat kecamatan saja, saksi-saksi partai melakukan pengawasan agar tidak terjadi penggelembungan suara.
Di sana juga ada Bawaslu, yang orang-orangnya telah mengabaikan rasa lelah, kantuk dan lunglai demi menjaga demokrasi. Namun para elit politikus enteng menyatakan ada kecurangan dalam pemilu 2024.
Patut dipertanyakan bagaimana etika politik mereka atas tuduhan kecurangan pemilu itu.
Saat ini, 22 Februari 2024 pukul 20.11 masih berlangsung rekapitulasi penghitungan suara di Kecamatan Tanjungkarang Timur Kota Bandar Lampung.
Dalam waktu skor, sesekali staf-staf Panwaslucam melihat media sosial. Di dalam sana muncul berita-berita pasangan capres dan cawapres yang kalah.
Lagi-lagi mereka menyebut kecurangan pemilu, lagi-lagi soal demo di KPU, lagi-lagi soal hak angket DPR.
Di situ, Panwascam yang berada di tengah-tengah kotak suara, tanpa pendingin udara, dan masih mengantuk karena harus begadang demi demokrasi Indonesia– justru disudutkan atas pernyataan kecurangan pemilu.
Bagaimana para elit politik itu mempertanggungjawabkan etika dan moral mereka. Jangankan mengapreasi, mereka yang mati-matian mengawal demokrasi justru disudutkan.
Mengapa tidak menyalahkan tim pemenangan yang barangkali memang tidak bekerja, tim pemenangan yang memang hanya ingin uang saja, tim pemenangan yang kurang menguasai taktik dan strategi, tim pemenangan yang tidak bisa membaca situasi.
Negara telah mengaluarkan anggaran kurang lebih Rp11.611.620.116.000 untuk Bawaslu dan KPU sebesar Rp28.398.893.459,000 untuk KPU disetujui Komisi II DPR RI.
Mengapa dari awal tidak mencegah pemilu, toh negara bisa menghemat anggaran. Daripada setelah pemilu masih tidak percaya atas hasil yang didapat.***