BANDAR LAMPUNG, PL-Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura (KPTPH) Provinsi Lampung siap membangun kelembagaan ekonomi pertanian (KEP) yang mandiri dan korporasi berbasis kawasan agribisnis. Demikian disampaikan Kepala Dinas KPTPH Provinsi Lampung, Ir. Kusnardi, M.Agr.Ec, pada Pelatihan Pemnumbuhan/Pembentukan dan Penguatan Kelembagaan Korporasi Petani di Hotel Kurnia 2 Bandar Lampung, pelatihan digelar pada 14-17 November tersebut dihadiri petani dan pelaku agrobisnis se-Provinsi Lampung. Acara tersebut dihadiri oleh para petani dan penyuluh.
Menurut Kusnardi, percepatan pembangunan pertanian baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan akan terjadi manakala kelembagaan petani kuat dan dinamis. “Maka itu, penguatan kelembagaan petani (kelompok tani, Gapoktan) dan kelembagaan ekonomi petani (KEP) serta membangun korporasi petani menjadi keharusan dalam membangun pertanian. Meski demikian, kelembagaan petani, baik kelompok tani dan Gapoktan belum menjadi prioritas pembinaan oleh penyuluh pertanian di lapangan. Demikian juga KEP dan Korporasi Petani masih belum dibina secara khusus dan belum berjalan dengan baik.
Dia juga mengingatkan bahwa pembangunan pertanian ke depan bukan makin ringan, tetapi makin berat dan kompleks baik permasalahan dalam negeri maupun terkait globalisasi, perdagangan bebas, perubahan iklim, daya saing antar negara dan penduduk dunia yang diperkirakan menjadi dua kali lipat dalam 50 tahun ke depan.
Ir. Khairul Amri, Kelompok Jabatan Fungsional Dinas KPTPH Lampung, didampingi Kasie Kelembagaan dan Ketenagaan, Levi Marfiarty, SH, mengatakan tujuan kegiatan ini, sebagai wahana meningkatkan pengetahuan, sikap dan kemampuan penyuluh pertanian serta menguatkan komitmen Dinas Pertanian Provinsi Lampung dalam dalam menumbuhkan, mengembangkan, dan membangun kelembagaan petani. “Kelembagaan ekonomi petani (KEP) dan korporasi petani sebagaimana kita ketahui kepemilikan dan pengelolaan usaha tani kita sekala kecil rata-rata 0,5 ha harus dihadapkan pada persaingan global dengan negara lain seperti Thailand dengan rata-rata kepemilikan 4-6 ha, petani Amerika Serikat 87 ha. Dan, makna persaingan adalah kemampuan petani kita untuk bersaing komoditas atau produk dengan harga lebih murah dan kualitas yang lebih bagus,” ujar dia.
Maka, katanya, jalan satu-satunya adalah menghimpun, mengintegrasikan, lahan petani dam satu manajemen pengelolaan menjadi satu kawasan dan mensinergikan pikiran dan tujuan petani menjadi satu tujuan dalam suatu kelembagaan yang kuat. “Oleh karena itu, kita harus melakukan upaya dan kemauan yang keras untuk mentrasformasi Kelembagaan Petani (Kelompoktani dan Gapoktan) menjadi KEP, dan selanjutnya mentransformasi KEP Menjadi Korporasi Petan yang berbasis kawasan. Dengan demikian kita juga harus membangun KEP dan Korporasi berbasis kawasan Agribisnis,” tuturnya.
Menurut Khairul, agribisnis merupakan sistem pembangunan pertanian yang secara totalitas melibatkan dan mengaitkan seluruh subsistem mulai dari subsistem penyediaan input (sarana prasarana/saprotan), sub-sistem usahatani (produksi), subsistem pengolahan (agroindustri), dan subsistem pemasaran. “Membangun agribisnis berarti kita membangun keuntungan persaingan (competitive advantage),” ujarnya. * fik