BANDAR LAMPUNG, PL– Langka dan mahalnya (harga) minyak goreng sebulan lalu, menggerakkan sebagian penyair menyuarakan dalam puisi. Sebuah antologi puisi “Minyak Goreng Memanggil” diluncurkan April 2022.
Buku ini dikuratori dua sastrawan Indonesia, Mustafa Ismail dan Isbedy Stiawan ZS, menampung 54 penyair dan diterbitkan Siger Publisher Lampung.
Sejumlah nama penyair kesohor, di antaranya D. Zawawi Imron, Nanang R. Supriyatin, Acep Syahril, Eddy Pranata PNP, Bambang Widiatmoko, Ariani Isnamurti, Dedi Tarhedi, Agusri Junaidi, Hendy Pratama, Yuliani Kumudaswari.
Dalam antologi ini juga ada nama-nama yang baru berkiprah dalam ranah kepenyairan Indonesia. Seperti Asep Perdiansyah, Andi Widiono, Ghufrani An’ars, Fitri Angraini, Sulastri, dan lainnya.
Dalam pengantar bertajuk “Ironi Minyak Goreng”, kurator mengatakan,
Ini adalah ironi lain yang diperlihatkan pemerintah. Di tengah lumbung sawit, kita harus membeli harga minyak goreng yang menyesuaikan dengan harga dunia. Lama-lama, barangkali kita juga harus membeli beras, bawang merah, cabe keriting, hingga ikan tongkol dengan harga dunia. Seolah kita tidak punya kemandirian pangan untuk menetapkan harga sendiri. Ini mirip kisah tikus yang mati di lumbung padi.
Tapi tentu saja rakyat tidak bodoh. Mereka dengan mudah memeriksa data, fakta, dan informasi yang benar di sumber-sumber resmi dan terpercaya lalu membedah serta menafsirkannya. Pada akhirnya ironi-ironi dan cacat logika itu akan menjadi “ludah yang memercik ke muka kekuasaan itu sendiri”.
Dengan kata lain, lanjut kurator buku ini, yang mereka pertontonkan sejatinya adalah kekonyolan. Pada gilirannya rakyat akan tahu mana yang benar-benar kerja dan mana yang pencitraan belaka.
Memang kita, rakyat, tidak punya kuasa untuk menghukum penguasa. Tapi hukuman paling nyata adalah ketidakpercayaan. Selebihnya, kita hanya bersuara dengan cara kita masing-masing. Nah, puisi-puisi dalam kumpulan ini adalah bagian dari potret keresahan itu, yang mendedahkan berbagai persoalan hingga ironi-ironi yang terjadi di sekeliling kita, dalam hal ini menyangkut minyak goreng. Sebab, seperti kita pahami di atas, persoalan ini “aneh tapi nyata”.
Memang tidak mudah menghadirkan puisi dengan tema ini, apalagi menghasilkan karya yang layak secara estetika, misalnya lolos kurasi media massa. Kami, yang membaca dan mengkurasi karya-karya para penulis, pun sangat menyadari hal itu.
Dalam proses kurasi yang utama kami timbang bukan persoalan estetika, tapi ketepatan tema. Sejak awal kami tidak pernah bercita-cita kumpulan ini menjadi karya luar biasa.
Dalam konteks ini, kita ak jarang kita gamang memposisikan diri. Seolah penulis hanya berada di luar realitas. Tidak menyentuh bumi.
Banyak orang tidak punya cukup ruang untuk bersuara. Maka puisi-puisi dalam kumpulan ini menjadi semacam ruang untuk bersuara, yang syukur-syukur bisa menjangkau banyak pembaca.
PL 03