BANDAR LAMPUNG, PL– Puisi “Tersebutlah Kisah (Atau Malin Kutuk Ibu, Dongeng yang Lain)” dibacakan Isbedy Stiawan ZS pada perayaan 10 tahun Sastra Bulan Purnama (SBP), Sabtu (23/10) malam.
Puisi ini selain masuk dalam antologi puisi “121 Purnama” juga ada dalan buku puisi tunggal Isbedy yang diterbitkan Teras Budaya Jakarta, “Tersebutlah Kisah Perempuan yang Menyingkap Langit” (2021).
Peringatan 10 tahun SBP juga menghadirkan 9 penyair lain yang puisinya terhimpun dalam antologi puisi “121 Purnama” (81 Penyair Indonesia).
Ke 9 penyair lain yang membaca puisi melalui aplikasi zoom tersebut adalah Eddy Pranata PNP, Wantor Tirta, Emi Suy, Julia Utami, Selsa, Marlin Dinamikanto, Eko Winardi, Dyah Kuncoro Puspito, dan musik puisi Daladi Ahmad.
Selain pembacaan puisi melalui zoom juga bincang komunitas sastra oleh Kurniawan Junaedhie, Adri Darmadji Woko, Warih Wisatsana, dan Sulis Bambang.
Pembacaan puisi para penyair yang tergabung dalam antologi 81 penyair “121 Purnama” ini juga berlanjut melalui penayangan youtube Sastra Bulan Purnama yang digawangi penyair Ons Untoro sekaligus mengelola Rumah Budaya Tembi, Yogyakarta.
Perjalanan 10 tahun mengelola SBP bukan hal mudah. Hal itu diakui Warih Wosatsana, Bali. “Tapi karena kesetiaan dan untuk ibadah sastra, Ons bisa mempertahankan SBP mencapai 10 tahun,” kata penyair asal Bali itu.
Penyair Lampung Isbedy Stiawan ZS membacakan sebuah puisi dari 3 puisi dalam buku “121 Purnama”. Ia memilih puisi “Tersebutlah Kisah” dinilai relevan pada kondisi masyarakat modern. Kalau kaba Malin Kundang dikutuk ibunya hingga menjadi batu, masyarakat modern “mengutuk ibunya” karena lalai memperhatikan dan membagi kasih sayang.
“Ibu sibuk sosialita di luar rumah, anak asyik dengan permaian dalam gawai di rumah. Akibatnya ibu dan anak terasa asing,” ujar Isbedy.
Inilah puisi dari Paus Sastra Lampung dan pengampu Lamban Sastra Isbedy Stiawan ZS.
TERSEBUTLAH KISAH
(Atau Malin Kutuk Ibu, Dongeng yang Lain)
tersebutlah kisah:
seorang anak mengutuk ibu
di dekat hutan sebongkah batu
duduk dan kedua tangannya
menopang harap. barangkali
ibu itu bermohon pada anak
lelakinya sebelum kutuk itu
dilafaskan. seperti dukun
bermantra
tersebab itu:
dongeng malin kundang hampir
dilupakan. anakanak menikmati
permainan rumahrumah hantu,
petualangan, dan kisahkisah
negeri salju atau keju
dibaca dan ditonton dari gawai
tersebutlah kisah:
seorang ibu menjadi batu sebab
dikutuk anaknya semata sapi. ibu
ini seperti melupakan putranya,
di rumah dan kerap tak makan. ibu
bercanda dan tertawatawa di kafe,
pasar mewah, dan bioskop. tentu
bersama kawankawannya, sesekali
bayangan suami — bayangan
ayah dari anak — cengkerama
kisah ini:
kelak kau yang mendongengkan
lalu ditulis sebagai cerita…
(PL 03)