PANTAU LAMPUNG– Dunia sastra Lampung kembali dikejutkan oleh karya penuh kritik sosial dari penyair muda Muhammad Alfariezie, sosok yang sebelumnya dikenal lewat novel debutnya berjudul Rumah Darah. Kini, melalui puisi terbarunya bertajuk “Sekolah di Istana Para Dewi”, Alfariezie menghadirkan suara keberanian yang menelanjangi paradoks pendidikan di negeri ini: lembaga yang seharusnya mencerdaskan bangsa justru menjadi panggung kemunafikan dan permainan kekuasaan.
Puisi ini tidak hanya sekadar karya sastra, tetapi sebuah bentuk perlawanan terhadap praktik-praktik penyelewengan anggaran publik di sektor pendidikan. Dalam puisinya, Alfariezie menciptakan formula kritik yang lugas namun penuh simbolisme:
Institusi Pendidikan + Kekuasaan + Misteri + Ironi Sosial = Kritik atas Korupsi Moral dan Sistemik
Formula ini kemudian ia turunkan ke dalam bentuk yang lebih tajam:
(Yayasan + Anggaran Negara) – (Transparansi + Kejujuran) = Ketimpangan + Satire Sosial
Kombinasi tersebut menjadi fondasi utama dari puisinya, yang menyingkap tabir misteri tentang lembaga pendidikan fiktif atau setengah nyata—sebuah “yayasan” yang menerima dana publik namun tidak memiliki aktivitas pendidikan yang jelas.
**Puisi yang Menyingkap Luka Sosial Pendidikan**
Dalam puisi “Sekolah di Istana Para Dewi”, Alfariezie membuka dengan baris yang menggugah:
“Yayasa Prakarsa Bunda
entah di mana kantornya
tapi menerima anggaran
bangun sekolah dari
pemerintah meski belum
tentu muridnya resmi
berijazah”
Bait pembuka ini seolah menggambarkan realitas getir di mana lembaga pendidikan bisa berdiri tanpa kejelasan fisik, namun tetap memperoleh kucuran dana negara. Di sinilah sang penyair menyorot bagaimana pendidikan, yang seharusnya menjadi ruang moral dan intelektual, justru berubah menjadi arena transaksi dan manipulasi.
Alfariezie kemudian memperdalam kritiknya dengan ironi yang menggigit:
“Mungkin kantornya di
kontrakan wali kota
sebab bisa jadi dia
yang punya”
Kalimat ini memperlihatkan dugaan akan adanya keterlibatan elit politik dalam urusan lembaga pendidikan. Kritik yang disampaikan bukan hanya terhadap individu, tetapi terhadap sistem birokrasi yang kerap memanfaatkan kekuasaan untuk mengontrol jalannya pendidikan demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Istana Para Dewi: Alegori Kekuasaan yang Elitis dan Misterius
Salah satu bagian paling menarik dari puisi ini adalah metafora “Istana Para Dewi.” Simbol ini menggambarkan tempat penuh kemewahan dan misteri—ruang elit yang jauh dari realitas rakyat kecil. Di dalamnya, penyair menempatkan yayasan pendidikan seolah bersemayam di dunia khayal yang indah di permukaan, tetapi sarat dengan kepalsuan di dalamnya.
“Barangkali sekretariatnya
di istana para dewi sebab
yayasan ini sungguh
bermisteri”
Imaji ini menyiratkan bahwa lembaga tersebut mungkin memiliki “perlindungan” dari sosok-sosok berpengaruh, atau beroperasi dalam sistem yang sulit dijangkau oleh publik. Dalam konteks ini, pendidikan tidak lagi menjadi alat pembebasan, melainkan menjadi simbol kemewahan yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang.
Guru dan Murid: Simbol Hilangnya Arah Pendidikan
Alfariezie kemudian menyoroti absurditas dunia pendidikan yang kehilangan arah moralnya. Ketika ditanya tentang yayasan tersebut, “para guru enggak ada yang tahu” dan “murid seperti tergigit.” Dua baris ini menggambarkan situasi di mana sistem pendidikan menjadi gelap dan tidak transparan, bahkan bagi mereka yang berada di dalamnya. Guru kehilangan peran sebagai penjaga moral dan ilmu, sedangkan murid menjadi korban dari sistem yang penuh kebohongan.
Sekolah Gratis tapi Sadis: Kritik Terbuka terhadap Komersialisasi Pendidikan
Bagian klimaks dari puisi ini menyentuh isu sensitif: praktik komersialisasi pendidikan di tengah klaim program “pendidikan gratis.”
“Sekolah penerima APBD
yang katanya semua gratis
ternyata jual beli buku: sadis!”
Baris ini menjadi tamparan keras bagi publik. Pendidikan yang diklaim gratis ternyata menjadi sumber keuntungan bagi segelintir pihak. Kata “sadis” menciptakan efek emosional yang kuat, menggambarkan penderitaan moral masyarakat yang harus menanggung beban dari sistem yang rusak.
Pertanyaan yang Mengguncang Kesadaran Publik
Puisi ini ditutup dengan pertanyaan yang menggema:
“Yayasan Prakarsa Bunda
siapa yang punya?”
Pertanyaan ini bukan hanya meminta jawaban tentang kepemilikan secara administratif, tetapi juga tentang kepemilikan moral atas dunia pendidikan itu sendiri. Siapa sebenarnya yang memiliki sistem pendidikan kita—rakyat atau segelintir elit yang bersembunyi di balik nama yayasan dan lembaga?
Refleksi dan Seruan Moral dari Seorang Penyair Muda
Puisi “Sekolah di Istana Para Dewi” berdiri bukan hanya sebagai karya sastra, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap tumpulnya nurani sosial. Dalam kesederhanaan diksi dan kekuatan simbol, Alfariezie berhasil menyuarakan keresahan kolektif masyarakat terhadap pendidikan yang kehilangan arah.
Karya ini adalah cermin yang memantulkan realitas getir birokrasi pendidikan Indonesia. Ia menegaskan bahwa selama lembaga pendidikan berdiri di atas kepentingan pribadi dan dana publik yang tidak transparan, maka pendidikan tidak akan pernah benar-benar menjadi alat pembebasan.
Melalui puisi ini, penyair muda Lampung itu menegaskan satu hal penting: pendidikan bukan sekadar gedung megah atau yayasan dengan nama indah, melainkan ruang bagi lahirnya kejujuran, kesetaraan, dan kesadaran moral bangsa. Selama nilai-nilai itu dikhianati, “sekolah di istana para dewi” akan tetap menjadi simbol kemewahan kosong—megah di luar, tetapi rapuh di dalam.***