PANTAU LAMPUNG – Politisi PDIP dan Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Masinton Pasaribu, melontarkan sindiran tajam kepada DPR dan pemerintah saat pembahasan RUU Pilkada. Dalam interupsi yang menegangkan, Masinton menegaskan bahwa meskipun peraturan bisa dimanipulasi, kebenaran tetap tak bisa disembunyikan.
“Kita bisa mengakali peraturan dengan membuat peraturan baru, namun kebenaran tidak bisa dibutakan, Pak Menteri,” kata Masinton, menyoroti proses pembahasan RUU Pilkada yang dinilai terburu-buru dan tidak transparan.
Pernyataan Masinton disampaikan saat pimpinan rapat Ahmad Baidowi, alias Awiek, berusaha meminta persetujuan anggota Baleg untuk mengesahkan RUU Pilkada yang sedang dibahas bersama pemerintah. Masinton, dengan nada tegas, melayangkan interupsi yang langsung menyoroti kehadiran Mendagri Tito Karnavian dan Menkumham Supratman Andi Agtas.
Di hadapan Tito dan Supratman, Masinton menyebut keduanya sebagai pelaku dan saksi dari kerusakan demokrasi yang tengah terjadi di Indonesia. Ia menilai DPR dan pemerintah telah berupaya menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan merevisi UU Pilkada secara tergesa-gesa.
“Kita mengubah undang-undang yang jelas-jelas dimaksudkan untuk memperbaiki sistem,” tambah Masinton. Ia menganggap bahwa putusan MK yang menurunkan syarat pencalonan kepala daerah merupakan upaya untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia.
Rapat hari itu berakhir dengan keputusan DPR untuk membawa revisi UU Pilkada ke Rapat Paripurna keesokan harinya. Hanya PDIP yang menolak draf RUU tersebut dibawa ke Paripurna, sementara delapan fraksi lainnya menyetujui.
Keputusan tersebut diambil setelah MK mengabulkan gugatan terkait syarat pencalonan kepala daerah dalam UU Pilkada. Sebelumnya, partai atau gabungan partai harus memenuhi syarat 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah nasional. Dalam putusannya, MK menetapkan ambang batas menyesuaikan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di masing-masing daerah, berkisar antara 6,5 persen hingga 10 persen.
Namun, dalam pembahasan RUU Pilkada, Baleg DPR memutuskan aturan baru hanya berlaku bagi partai non-parlemen, sementara partai parlemen tetap mengikuti syarat lama. Sikap ini dianggap publik sebagai tindakan inkonstitusional dan memicu gerakan pembangkangan sipil. Tagar “peringatan darurat” pun ramai di media sosial sebagai bentuk penolakan terhadap sikap pemerintah dan DPR.