PANTAU LAMPUNG- Puisi Jalan Edeilweis karya Muhammad Alfariezie menghadirkan refleksi mendalam tentang perjalanan manusia dalam mencari makna, kebenaran, dan pengetahuan. Melalui metafora perjalanan, penyair tidak sekadar mengajak pembaca berpindah dari satu ruang ke ruang lain, tetapi masuk ke wilayah eksistensial dan epistemologis: bagaimana manusia memahami dunia, risiko, serta keterbatasannya sendiri di tengah ketidakpastian hidup.
Sejak larik awal, “Pelan-pelan kita jalan hingga sampai”, penyair langsung menempatkan subjek kolektif “kita” dalam posisi yang hati-hati dan penuh kesadaran. Perjalanan ini tidak dilakukan dengan gegap gempita, melainkan perlahan, seolah setiap langkah memerlukan pertimbangan etis dan rasional. Kata “sampai” yang biasanya bermakna final justru segera dipatahkan oleh larik berikutnya, “Di sana, bisa mati”, menandai bahwa tujuan tidak selalu identik dengan keselamatan atau keberhasilan.
Gambaran gunung dan danau yang “berlimpah sumber daya” memperlihatkan daya tarik tujuan, baik dalam konteks material, pengetahuan, maupun kekuasaan. Namun, kekayaan tersebut tidak hadir tanpa risiko. Edeilweis, bunga yang sering diasosiasikan dengan keabadian dan kemurnian, tumbuh di sisi jalan yang penuh belukar. Simbol ini menegaskan bahwa nilai, kebenaran, atau makna hidup sering kali justru ditemukan di wilayah sulit, bukan di ruang aman yang serba pasti.
Puisi ini juga memuat kritik tajam terhadap cara manusia merepresentasikan realitas. Larik “dalam peta, hanya sebatas simbol dan logika” menunjukkan keterbatasan peta, data, dan teori dalam menangkap kompleksitas kenyataan. Sungai yang mudah banjir atau mengering menjadi metafora dinamika sosial dan alam yang tidak selalu sejalan dengan perhitungan rasional. Di titik ini, puisi berfungsi sebagai kritik terhadap kecenderungan menyederhanakan realitas menjadi angka dan skema.
Menariknya, Muhammad Alfariezie menyebut figur “jurnalis dan peneliti atau polisi” sebagai pihak yang harus “ke sana”. Mereka melambangkan profesi praksis yang dituntut turun ke lapangan, bersentuhan langsung dengan risiko dan ketidakpastian. Tugas mereka bukan sekadar mencari kepastian, melainkan “mengungkap skeptis”, yakni membuka keraguan dan mempertanyakan klaim kebenaran yang mapan.
Pada bagian akhir, puisi ini semakin menegaskan dimensi eksistensialnya. Diskursus yang hanya “bicara bayang” dikontraskan dengan fakta bahwa “*ajal terlalu liar untuk diterjemah”. Di sini, penyair menegaskan batas bahasa dan pengetahuan manusia: ada realitas yang tidak sepenuhnya dapat dipahami atau dikendalikan.
Secara keseluruhan, Jalan Edeilweis adalah puisi reflektif yang menawarkan sikap, bukan jawaban. Ia mengajak pembaca untuk berani berjalan, menerima risiko, dan bersikap kritis terhadap pengetahuan yang terlalu percaya diri. Puisi ini menegaskan bahwa makna sejati tidak ditemukan dengan diam di tempat aman, melainkan dengan keberanian menempuh jalan terjal menuju ketidakpastian.***









