PANTAU LAMPUNG-Puisi “Sepintas Cahaya Mata” puisi romantis kontemplatif karya Muhammad Alfariezie memotret satu peristiwa sederhana: sebuah tatapan sesaat yang meninggalkan bekas emosional.
Meski peristiwanya singkat, penyair mengolahnya menjadi refleksi panjang tentang daya tarik, ingatan, dan kemungkinan yang lahir dari momen yang tidak direncanakan. Melalui struktur bahasa yang padat citraan, puisi ini menghadirkan pengalaman personal yang universal: terguncang oleh sesuatu yang terjadi tanpa pernah direncanakan.
Secara garis besar, puisi ini dapat dikategorikan sebagai puisi lirik-romantik. Alih-alih bercerita secara naratif, ia membangun suasana batin melalui detail sensorik, citraan visual, dan metafora yang berulang.
Dari awal hingga akhir, puisi bekerja bukan sebagai laporan kejadian, melainkan sebagai ruang kontemplatif untuk menimbang kembali apa yang terasa remeh namun justru menggugah.
Sepintas Cahaya Mata
Wajah basah dari jilbab
yang agak tersingkap,
cantik berbinar melirik
tajam sambil lewat. Ada
tanya bagi yang sekejap
memandang, tanya seperti
cabang kembang, mudah
patah tapi terus memanjang
Pesona liar? Ya pesona liar
seliar pertemuan singkat
yang terus terngiang. Persis
layaknya cabang kembang,
rapuh namun bertumbuh
Tidak ada yang salah. Wajar
orang terpesona dalam tatap
yang sekejap. Bahkan banyak
di dunia, cabang-cabang
kembang yang rapuh tumbuh
sampai berpuluh-puluh
2025
Struktur Fisik: Ketelitian Bahasa dan Imaji
Diksi dalam puisi ini sederhana namun efektif. Kata-kata seperti “jilbab,” “melirik tajam,” dan “wajah basah” membentuk lanskap visual yang kuat, seolah pembaca sedang berdiri beberapa langkah dari adegan itu: melihat seseorang berjalan, menatap singkat, lalu pergi. Momen itu ditangkap melalui frasa “sambil lewat,” yang menegaskan spontanitas sekaligus ketidakberulangannya.
Salah satu kekuatan puisi ini adalah penggunaan metafora “cabang kembang yang mudah patah namun terus memanjang.” Metafora tersebut muncul dua kali dan berfungsi sebagai poros makna: sebuah kiasan untuk rasa yang rapuh, mudah pecah, tetapi justru tumbuh diam-diam di dalam ingatan. Repetisi metafora menciptakan ritme emosional sekaligus penekanan: sesuatu yang tampak kecil dapat berdampak besar.
Puisi ini juga menerapkan enjambemen — pemenggalan baris di tengah kalimat — yang menghasilkan irama terputus-putus, seolah meniru degup jantung yang berubah setelah mengalami kejutan kecil berupa tatapan itu. Tidak ada rima teratur, namun ritme internal dan repetisi frasa melahirkan musikalitas tersendiri.
Struktur Batin: Kagum, Ragu, dan Kesadaran
Tema utama puisi ini adalah pesona sesaat. Penyair menunjukkan bagaimana sebuah momen singkat dapat menimbulkan tanya yang panjang. Tatapan itu bukan sekadar pertemuan fisik mata, tetapi pertemuan dua kemungkinan: yang terjadi dan yang tidak terjadi.
Nada puisi ini reflektif, cenderung melankolis, dan dalam beberapa bagian penuh kekaguman yang tersamar. Ada pengakuan bahwa pengalaman itu wajar, sebagaimana ditegaskan dalam baris:
Tidak ada yang salah. Wajar
orang terpesona dalam tatap
yang sekejap.
Baris tersebut berfungsi sebagai legitimasi moral sekaligus renungan psikologis: rasa yang timbul dari tatapan bukanlah pelanggaran, melainkan bagian dari pengalaman manusia.
Pesan dan Tafsir
Akhir puisi menegaskan kemungkinan paling jauh dari pengalaman sesaat: bahwa sesuatu yang rapuh dan sekilas pun bisa berbuah. Baris penutup membuka ruang interpretasi: buah apakah yang dimaksud? Ingatan? Keinginan? Penyesalan? Atau sekadar momen yang terus kembali tanpa pernah menjadi kenyataan?
Dalam konteks ini, puisi tidak memberi jawaban. Ia hanya menandai bahwa dalam kehidupan modern yang serba cepat, momen-momen singkat masih mampu mengusik kesadaran manusia secara mendalam.***










