PANTAU LAMPUNG– Suasana Stadion Sumpah Pemuda Way Halim, Bandar Lampung, Sabtu, 2 November 2025, tampak jauh dari kata meriah. Bhayangkara Presisi Lampung FC, klub profesional yang berada di bawah naungan Polda Lampung dan Polresta Bandar Lampung, harus menjalani pertandingan melawan Persita dengan stadion yang tampak sepi. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar soal insolidaritas internal kepolisian dan efektivitas penggunaan aset publik untuk kegiatan olahraga.
Bhayangkara Presisi Lampung FC dikenal sebagai klub profesional milik Polri, dengan struktur manajemen yang melibatkan pejabat tinggi kepolisian. Irjen Pol. Agus Suryonugroho tercatat sebagai CEO, Kombes Pol. Sumardji sebagai COO, dan AKBP Reza Arifian menjabat Manajer Tim. Dengan semua fasilitas dan dukungan internal yang dimiliki, logikanya, kehadiran personel Polri seharusnya bisa mengisi stadion, paling tidak sebagian besar dari kapasitas belasan ribu penonton.
Sayangnya, kenyataan di lapangan justru berbeda. Kapasitas Stadion Sumpah Pemuda yang bisa menampung ribuan penonton tampak mubazir. Meski jumlah personel Polda Lampung pada 2022 mencapai lebih dari 11.500 anggota, bahkan setengahnya pun tidak terlihat hadir untuk memberikan dukungan pada tim. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang solidaritas internal dan minat anggota kepolisian terhadap kegiatan yang menjadi simbol Bhayangkara Presisi Lampung.
Fenomena ini juga berdampak pada potensi ekonomi stadion. Stadion Sumpah Pemuda memiliki kapasitas besar yang bisa menghasilkan pendapatan signifikan dari tiket, merchandise, dan fasilitas pendukung lainnya. Namun dengan kehadiran penonton yang minim, aliran ekonomi yang seharusnya terjadi di sektor olahraga ini menjadi terhambat. Hal ini menjadi perhatian serius bagi manajemen klub dan pengelola fasilitas publik karena pemanfaatan aset negara seharusnya memberikan manfaat yang optimal.
Menariknya, eks pelatih PSM Makassar, Bernardo Tavares, sebelumnya sempat memuji atmosfer sepakbola Bandar Lampung ketika Bhayangkara Presisi FC pertama kali bermain kandang. Ia membandingkan kondisi stadion dan dukungan suporter di Bandar Lampung dengan Pare-Pare, Sulawesi Selatan, dan menilai potensi sepakbola di kota ini cukup menjanjikan. Namun, kehadiran penonton yang minim pada pertandingan terakhir justru menodai pujian tersebut dan menunjukkan adanya gap antara potensi dan realitas di lapangan.
Fenomena minimnya dukungan internal ini juga menimbulkan kritik dari sejumlah pengamat olahraga. Mereka menilai, meski klub ini berada di bawah naungan institusi resmi, faktor budaya dan loyalitas internal harus tetap diperkuat agar tim dan stadion tidak menjadi simbol mubazirnya fasilitas publik. Selain itu, minimnya dukungan juga dapat memengaruhi motivasi pemain di lapangan, yang jelas membutuhkan sorakan penonton sebagai energi tambahan dalam pertandingan.
Sementara itu, netizen dan pengamat olahraga mulai berspekulasi bahwa kurangnya kehadiran anggota Polri dalam mendukung Bhayangkara Presisi Lampung FC bisa jadi cerminan dari insolidaritas internal atau kurangnya sosialisasi dan antusiasme terhadap sepakbola sebagai sarana olahraga dan hiburan. Beberapa pihak menekankan pentingnya strategi komunikasi dan promosi yang lebih agresif agar anggota kepolisian dan masyarakat umum merasa terlibat dalam setiap pertandingan, sehingga stadion tidak lagi tampak sepi.
Dengan kondisi seperti ini, Bhayangkara Presisi Lampung FC menghadapi tantangan ganda: selain menjaga prestasi di lapangan, mereka juga harus memikirkan strategi agar stadion yang merupakan aset publik bisa digunakan secara maksimal, baik dari sisi ekonomi maupun dukungan moral untuk tim. Pertanyaan besar yang muncul kini adalah, sampai kapan Stadion Sumpah Pemuda akan menjadi simbol mubazirnya fasilitas publik dan bagaimana manajemen klub akan menanggapi fenomena ini untuk masa depan Bhayangkara Presisi Lampung FC.***











