NGAKAK POLITIK
PANTAU LAMPUNG- Main ke Teluk Kiluan, makan nasi rendang, eh pulangnya malah packing koper ke Jogja. Katanya sih demi belajar wisata berkelanjutan. Tapi kok makin ke sini, yang berkelanjutan malah kunjungannya?
Yah, bagus sih niatnya. Tapi ya ampun Pak Dewan, Lampung dan Jogja itu kayak nasi uduk dan gudeg: sama-sama enak, tapi beda rasa dan masalah. Jogja punya candi, kita punya jalan rusak berlapis air—edisi spesial “banjir lokal tanpa promo.”
Jogja itu PR-nya soal overload turis. Kita? PR-nya masih di bab awal: akses jalan berlubang, tarif parkir ala bandara, dan preman parkir yang lebih aktif dari petugas Dishub.
Lalu kenapa belajar ke Jogja? Kan udah sering warga bilang, Lampung tuh kaya wisata, miskin akses. Bukan wisata yang kurang, tapi jalannya yang bikin shockbreaker pensiun dini. Masa itu enggak dibahas?
Atau jangan-jangan Jogja cuma “transit rohani” sebelum nyebrang ke Bali? Duduk santai pinggir pantai, minum es kelapa muda ditemani bule-bule berjemur. Demi menyerap “nuansa global” katanya. Astaga, ini studi banding apa bandingkan gaya hidup?
Maaf, ini bukan fitnah. Ini cuma hasil imajinasi rakyat yang disuguhi publikasi foto kunker dan testimoni “kita banyak belajar.” Ya wajar kalau kita berasumsi, wong yang milih kalian itu kami, bukan pemandu wisata di luar pulau.
Negara ini bukan milik lembaga, apalagi keluarga Anda. Ini milik rakyat yang sabar tiap tahun ngisi bensin dan nyawa sebelum naik ke Puncak Mas lewat jalan horor.
Jadi, sebelum jauh-jauh cari inspirasi keluar pulau, coba deh, buka mata dan kuping di sini. Jangan sampai pariwisata berkembang di atas penderitaan suspensi warga.
Enggak apa-apa sih belajar, asal pulangnya enggak cuma bawa oleh-oleh bakpia, tapi juga bawa solusi. Dan ingat, di dunia ini kita enggak hidup sendiri. Jadi mari saling mawas diri dan… kalau bisa, maaf-maafan sambil kerja beneran. Bukan kerja sambil jalan-jalan.***